Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak dunia melanjutkan tren melemahan untuk hari ketiga berturut-turut, seiring meningkatnya tensi perundingan dagang antara Amerika Serikat dan para mitra utamanya menjelang tenggat waktu penting pekan depan.
Melansir Bloomberg, Selasa (22/7/2025), harga minyak mentah Brent untuk kontrak pengiriman September melemah 0,18% ke level US$68,65 per barel pada pukul 14.35 WIB. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) kontrak Agustus 2025 melemah 0,32% ke US$66,88 per barel.
Para negosiator dari Uni Eropa dan AS kembali duduk dalam pembahasan intensif guna mencapai kesepakatan sebelum 1 Agustus—batas waktu di mana Presiden Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif sebesar 30% atas sebagian besar ekspor dari Eropa.
Juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt menyatakan bahwa Trump berpotensi mengeluarkan tambahan surat tarif sepihak sebelum batas waktu tersebut, dan menambahkan bahwa peluang tercapainya lebih banyak kesepakatan masih terbuka.
Kepala Strategi Komoditas ING Groep NV Warren Patterson mengatakan dengan tenggat tarif yang kian dekat, tekanan terhadap harga minyak cenderung mengarah ke bawah.
“Ekspektasi pasar akan pasokan minyak yang lebih melimpah di akhir tahun turut memperkuat sentimen negatif terhadap harga,” ungkap Patterson.
Baca Juga
Pada akhir pekan lalu, Uni Eropa menyetujui paket sanksi baru terhadap Rusia, termasuk penurunan batas harga untuk minyak mentah negara tersebut, pembatasan terhadap bahan bakar berbasis minyak Rusia, serta pelarangan terhadap salah satu kilang besar di India.
Inggris turut serta dalam upaya ini, sementara Amerika Serikat belum memberikan dukungan resmi.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyebut bahwa dalam perundingan berikutnya dengan China, topik mengenai pembelian minyak dari Rusia dan Iran akan dibahas. Ini berpotensi menjadi ganjalan karena Rusia saat ini merupakan pemasok utama minyak mentah bagi China.
Bessent menegaskan bahwa Washington kemungkinan besar akan menempuh strategi tarif yang membebankan bea tinggi kepada negara-negara yang masih membeli energi dari Rusia. China dan India adalah dua pembeli terbesar minyak Rusia saat ini.
Kendati Brent sempat mencatat kenaikan sepanjang bulan Juli, harga patokannya tetap anjlok sekitar 8% sepanjang tahun ini. Kombinasi dari perang dagang Trump yang mengganggu prospek permintaan global dan keputusan OPEC+ untuk meningkatkan produksi menambah volatilitas pasar.
Selain itu, perkembangan geopolitik di Timur Tengah dan meluasnya sanksi terhadap negara produsen utama seperti Rusia dan Iran terus membayangi pergerakan harga.
Sementara itu, analis Dupoin Futures Indonesia Andy Nugraha memproyeksikan secara teknikal bahwa, tren bearish pada WTI saat ini semakin menguat.
Berdasarkan pola candlestick harian serta posisi indikator Moving Average, harga WTI kini bergerak di bawah MA 20 dan MA 50 harian, yang menandakan bahwa tekanan jual masih mendominasi pasar.
Apabila tekanan bearish ini terus berlanjut, maka harga WTI berpotensi menguji level support terdekat di kisaran US$64 per barel.
”Namun, jika tekanan jual mereda dan terjadi koreksi teknikal, maka harga berpeluang untuk naik ke kisaran resistance terdekat di sekitar level US$65,5 per barel sebelum kembali mencari arah pergerakan baru,” jelas Andy dalam risetnya.
Meskipun pelemahan dolar AS memberikan sedikit dukungan terhadap harga minyak karena membuat harga lebih murah bagi pembeli luar negeri dampak ini belum cukup signifikan untuk membalikkan arah tren.
Kondisi saat ini masih menunjukkan ketidakpastian yang tinggi, terutama dengan munculnya potensi eskalasi perang dagang dan pertumbuhan pasokan yang lebih cepat dari ekspektasi pasar.
Andy menyarankan agar pelaku pasar tetap waspada dan memantau perkembangan kebijakan global serta data fundamental yang bisa memicu volatilitas harga lebih lanjut. Dalam kondisi seperti ini, strategi pengelolaan risiko yang ketat dan pemahaman mendalam terhadap sentimen pasar sangat diperlukan.
Dengan semakin kuatnya tekanan dari sisi fundamental dan teknikal, pasar minyak saat ini bergerak dalam kondisi yang rentan dan cenderung sideways hingga muncul katalis baru yang lebih kuat.
Dalam pandangan Andy, arah pergerakan harga dalam waktu dekat akan sangat bergantung pada perkembangan kebijakan perdagangan antara AS dan Uni Eropa serta laporan data pasokan global yang dirilis oleh negara-negara produsen utama.
Ketidakpastian tinggi membuat pasar cenderung reaktif terhadap berita dan spekulasi, sehingga setiap pernyataan atau kebijakan baru berpotensi memicu pergerakan tajam dalam waktu singkat.