Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPEC+ Sepakat Genjot Produksi, Harga Minyak Mentah Mendingin

Harga minyak mentah melemah setelah OPEC+ sepakat untuk meningkatkan produksi 547.000 bph pada September.
Tangki penyimpanan minyak di Midland, Texas, AS, pada hari Kamis, 3 Oktober 2024./Bloomberg-Anthony Prieto
Tangki penyimpanan minyak di Midland, Texas, AS, pada hari Kamis, 3 Oktober 2024./Bloomberg-Anthony Prieto
Ringkasan Berita
  • OPEC+ sepakat meningkatkan produksi minyak sebesar 547.000 barel per hari untuk September, menyebabkan harga minyak dunia turun ke level terendah dalam sepekan.
  • Keputusan ini diambil meskipun permintaan bensin di AS lemah dan produksi minyak AS mencapai rekor tertinggi, menimbulkan kekhawatiran kelebihan pasokan global.
  • Presiden AS Donald Trump mengancam tarif sekunder terhadap pembeli minyak Rusia, yang dapat mempengaruhi pasar minyak global dan menahan penurunan harga lebih lanjut.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak dunia jatuh ke level terendah dalam sepekan setelah OPEC+ sepakat menaikkan produksi September di tengah lemahnya permintaan BBM di AS.

Melansir Reuters pada Selasa (5/9/2025), harga minyak berjangka jenis Brent turun 91 sen atau 1,3% ke US$68,76 per barel, sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) melemah US$1,04 atau 1,5% ke US$66,29 per barel. Kedua kontrak tersebut ditutup pada level terendah dalam sepekan, setelah pada Jumat lalu anjlok hampir 3%.

Pelemahan harga minyak dipengaruhi oleh keputusan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) untuk meningkatkan produksi sebesar 547.000 barel per hari (bph) untuk bulan September.

Langkah ini merupakan bagian dari serangkaian percepatan peningkatan produksi yang ditujukan untuk merebut pangsa pasar, sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar. Peningkatan ini sekaligus menandai pembalikan penuh dan lebih awal atas pemangkasan produksi terbesar kelompok tersebut, yakni sekitar 2,5 juta bph atau setara 2,4% dari permintaan global.

Meski OPEC+ mengklaim bahwa pasar minyak memiliki fundamental yang sehat, data dari pemerintah AS menunjukkan bahwa permintaan bensin di negara itu selama Mei—awal musim mengemudi musim panas—merupakan yang terlemah sejak pandemi Covid-19 pada 2020.

Produksi minyak AS juga tercatat mencapai rekor tertinggi bulanan pada Mei, semakin memperkuat kekhawatiran pasar terhadap kelebihan pasokan global.

Pelaku pasar kini mulai mengantisipasi kemungkinan peningkatan suplai lebih lanjut dari OPEC+, seiring agenda pembahasan pembatalan tambahan pemangkasan produksi sebesar 1,65 juta bph yang dijadwalkan pada pertemuan berikutnya 7 September mendatang.

Analis StoneX Alex Hodes mengatakan, OPEC+ masih memiliki kapasitas cadangan produksi yang besar, dan pasar kini memantau dengan seksama apakah kelompok tersebut akan menggunakannya. 

"Hingga kini, belum ada sinyal jelas bahwa OPEC+ akan mengaktifkan kapasitas tambahan itu, tetapi opsinya tetap terbuka," lanjutnya.

Analis Goldman Sachs memperkirakan peningkatan pasokan riil dari delapan negara anggota OPEC+ yang telah meningkatkan produksi sejak Maret akan mencapai 1,7 juta bph, mengingat sebagian anggota lainnya justru mengurangi produksi setelah sebelumnya melebihi kuota.

Sementara itu, investor juga masih mencermati dampak kebijakan tarif baru AS terhadap ekspor dari puluhan negara mitra dagang, serta potensi sanksi lanjutan terhadap Rusia.

Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif sekunder 100% terhadap pembeli minyak Rusia sebagai bagian dari tekanannya agar Moskow menghentikan invasi ke Ukraina.

Pada Senin, Trump menyatakan akan menaikkan tarif secara signifikan terhadap India atas pembelian minyak dari Rusia. Dua sumber pemerintah India sebelumnya mengatakan bahwa negara tersebut akan tetap melanjutkan impor minyak dari Moskow meskipun mendapat ancaman dari Trump.

Langkah tersebut turut menahan pelemahan harga minyak. Menurut analis ING, sekitar 1,7 juta bph pasokan minyak mentah akan terdampak jika kilang India menghentikan pembelian dari Rusia.

"Fokus pasar kini akan tertuju pada keputusan Presiden Trump terhadap Rusia pada Jumat ini—apakah ia akan menargetkan pembeli minyak Rusia dengan sanksi atau tarif sekunder," kata analis UBS, Giovanni Staunovo.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro