Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak mentah dunia menguat seiring dengan meningkatnya fokus investor terhadap langkah Presiden AS Donald Trump yang mempercepat tenggat waktu bagi Rusia untuk mengakhiri perang di Ukraina dan mengancam mitra dagang minyak Rusia dengan tarif tambahan.
Melansir Reuters pada Kamis (31/7/2025), harga minyak berjangka Brent untuk kontrak pengiriman September, yang akan jatuh tempo pada Kamis, ditutup naik 73 sen atau 1,01% menjadi US$73,24 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS menguat 79 sen atau 1,14% ke level US$70 per barel, meskipun data campuran terkait persediaan minyak dan bahan bakar AS dirilis ke pasar.
Kedua kontrak sempat turun hampir 1% di awal sesi. Sementara itu, kontrak Brent yang lebih aktif untuk pengiriman Oktober ditutup menguat 79 sen atau 1,1% ke level US$72,47 per barel.
Sehari sebelumnya, Trump menyampaikan bahwa pemerintahannya akan mulai memberlakukan tarif sekunder sebesar 100% terhadap mitra dagang Rusia jika tidak ada kemajuan signifikan dalam penghentian perang di Ukraina dalam 10 hingga 12 hari ke depan, mempercepat tenggat dari sebelumnya 50 hari.
Trump juga menetapkan tarif impor sebesar 25% atas barang dari India yang berlaku mulai 1 Agustus, serta sanksi tambahan untuk pembelian senjata dan minyak dari Rusia. Pemerintah AS juga memperingatkan China—pembeli minyak terbesar Rusia—bahwa mereka bisa menghadapi tarif besar jika terus membeli minyak dari Moskow.
Analis JP Morgan mencatat bahwa China kecil kemungkinan akan mematuhi sanksi AS, tetapi India memberikan sinyal akan mematuhi, yang dapat berdampak terhadap 2,3 juta barel per hari (bph) ekspor minyak Rusia.
Baca Juga
“Pelaku pasar tampaknya lebih fokus pada isu tarif terhadap Rusia, dan kepatuhan India terhadap kebijakan AS dianggap sebagai sentimen positif bagi harga minyak,” kata Dennis Kissler, Wakil Presiden Senior Perdagangan di BOK Financial.
Di sisi lain, laporan mingguan dari Energy Information Administration (EIA) menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah AS naik 7,7 juta barel, jauh di atas perkiraan konsensus dalam survei Reuters yang memproyeksikan penurunan sebesar 1,3 juta barel.
Stok bensin AS tercatat turun 2,7 juta barel, lebih besar dari ekspektasi penurunan 600.000 barel. Sementara itu, persediaan distilat—yang mencakup solar dan minyak pemanas—naik 3,6 juta barel, jauh di atas proyeksi kenaikan 300.000 barel.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi AS kuartal II/2025 tercatat rebound lebih tinggi dari perkiraan. Namun, perbaikan tersebut sebagian besar disumbang oleh penurunan impor, bukan peningkatan permintaan domestik, yang justru tumbuh dalam laju paling lambat dalam 2,5 tahun terakhir.
Adapun Federal Reserve kembali mempertahankan suku bunga acuan dalam keputusan yang terpecah. Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan terlalu dini untuk memastikan apakah akan ada pemangkasan suku bunga pada September, meskipun pasar keuangan telah mengantisipasinya.