Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak dunia melemah seiring dengan meningkatnya kekhawatiran investor menjelang tenggat 1 Agustus 2025 yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait kebijakan tarif baru.
Melansir Reuters pada Jumat (1/8/2025), harga minyak jenis Brent untuk pengiriman September yang berakhir Kamis ditutup turun 71 sen atau 0,97% menjadi US$72,53 per barel.
Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September turun 74 sen atau 1,06% ke level US$69,26 per barel, setelah sempat melemah lebih dari US$1 di awal sesi. Kedua harga minyak acuan tersebut sebelumnya sempat naik sekitar 1% pada perdagangan Rabu.
Gedung Putih menyatakan bahwa negara-negara yang belum menjalin kesepakatan dagang atau belum menerima surat pemberitahuan tarif akan segera diberitahu perihal ketentuan perdagangan hingga akhir hari Kamis waktu setempat.
Sejauh ini, AS telah menyepakati perjanjian dengan dua pertiga dari 18 mitra dagang terbesarnya. Trump mengatakan bahwa dirinya dan Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum telah menyepakati perpanjangan kesepakatan dagang selama 90 hari guna melanjutkan negosiasi, dengan target penandatanganan perjanjian baru dalam periode tersebut.
“Selama masa perpanjangan, Meksiko tetap dikenakan tarif 25% untuk Fentanyl, 25% untuk mobil, serta 50% untuk baja, aluminium, dan tembaga. Selain itu, Meksiko telah sepakat untuk segera menghapus hambatan perdagangan non-tarif yang jumlahnya cukup banyak,” tulis Trump melalui media sosialnya.
Baca Juga
Menurut John Kilduff, mitra di Again Capital, New York, berita mengenai perpanjangan kesepakatan dengan Meksiko turut membebani harga minyak.
“Secara umum, tarif akan berdampak negatif terhadap permintaan minyak dalam jangka panjang, dan kesepakatan Meksiko ini hanya menunda ketidakpastian,” ujarnya.
Dari sisi makro, inflasi AS meningkat pada Juni seiring naiknya harga barang impor seperti furnitur rumah tangga dan produk rekreasi. Hal ini memperkuat ekspektasi bahwa tekanan harga akan meningkat pada paruh kedua 2025 dan berpotensi menunda rencana pemangkasan suku bunga The Fed hingga setidaknya Oktober.
Suku bunga yang lebih rendah biasanya mendorong permintaan terhadap minyak karena menurunkan biaya pinjaman dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, produksi minyak mentah AS mencapai rekor tertinggi 13,49 juta barel per hari (bph) pada Mei, menurut data Administrasi Informasi Energi AS (EIA). Produksi tersebut naik 24.000 bph dibandingkan bulan sebelumnya yang juga mencatat rekor.
Adapun, stok minyak mentah AS naik sebesar 7,7 juta barel menjadi 426,7 juta barel pada pekan yang berakhir 25 Juli, didorong oleh turunnya ekspor. Kenaikan ini mengejutkan analis yang sebelumnya memperkirakan penurunan sebesar 1,3 juta barel.
Di sisi lain, persediaan bensin turun sebesar 2,7 juta barel menjadi 228,4 juta barel, jauh melebihi proyeksi penurunan 600.000 barel.
“Data persediaan AS menunjukkan kenaikan tak terduga pada stok minyak mentah, tetapi penurunan bensin yang jauh di atas ekspektasi mendukung pandangan bahwa permintaan selama musim liburan mengemudi tetap kuat, sehingga dampaknya netral terhadap pasar minyak,” kata analis Fujitomi Securities, Toshitaka Tazawa.
Ancaman Sanksi Rusia Batasi Tekanan Harga
Di sisi lain, ancaman sanksi tambahan AS terhadap Rusia turut menahan pelemahan harga minyak pekan ini.
Pada Senin, Trump mengancam akan menjatuhkan tarif sekunder 100% terhadap negara-negara mitra dagang Rusia jika Moskow tidak menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengakhiri perang di Ukraina dalam 10–12 hari ke depan—mempercepat tenggat sebelumnya yang 50 hari.
Washington juga telah memperingatkan China, pembeli utama minyak Rusia, bahwa mereka dapat dikenakan tarif besar jika tetap melanjutkan impor dari Moskow.
Empat sumber Reuters menyebutkan bahwa kilang milik negara di India tidak mengajukan permintaan pembelian minyak Rusia dalam satu pekan terakhir, menyusul peringatan keras dari Trump.
Pada Rabu, Departemen Keuangan AS juga mengumumkan sanksi baru terhadap lebih dari 115 individu, entitas, dan kapal yang terkait Iran, memperluas kampanye tekanan maksimum pemerintahan Trump setelah serangan udara terhadap situs nuklir Iran pada Juni lalu.