Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang euro mengalami tren penurunan mingguan terburuk sejak tiga tahun terakhir di hadapan dolar AS. Euro tertekan oleh kekhawatiran pelaku pasar terkait dampak ekonomi dari kesepakatan dagang antara Uni Eropa dan AS.
Berdasarkan data Bloomberg, mata uang tunggal di Eropa ini sudah turun 2,8% sejak awal pekan ke level US$1.1410 atau penurunan mingguan terdalam sejak September 2022. Level euro saat ini menjadi yang terendah dalam dua bulan terakhir.
Euro bergerak variatif pada perdagangan Jumat (1/8/2025), seiring Presiden Donald Trump mengumumkan serangkaian tarif baru secara global dan pasar menanti data ketenagakerjaan utama dari AS. Euro menjadi salah satu mata uang yang paling terpukul ketika dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang utama dunia.
Adapun, pelaku pasar mulai bertanya-tanya soal titik balik euro yang sempat menyentuh level tertinggi dalam tiga tahun pada awal Juli. Euro sebelumnya diuntungkan oleh strategi diversifikasi investor yang mengalihkan kepemilikan aset keluar dari AS, serta didukung oleh rencana Jerman untuk meningkatkan belanja pemerintah.
Namun optimisme tersebut memudar pekan ini, usai Eropa dinilai sebagai pihak yang paling dirugikan dalam kesepakatan dagang yang menetapkan tarif sebesar 15% atas ekspornya ke AS.
Kepala Strategi Valas Rabobank Jane Foley menyebut dampak dari kesepakatan dagang UE-AS menjadi peringatan bagi investor mengenai tantangan yang dihadapi ekonomi zona euro.
"Hal ini memicu aksi ambil untung terhadap euro," kata Jane, dikutip Bloomberg, Jumat (1/8/2025).
Meskipun kesepakatan dagang yang dicapai itu memungkinkan Eropa menghindari perang dagang secara menyeluruh, tarif yang diterapkan tetap menjadi yang tertinggi dalam sejarah Uni Eropa. Pesimisme terhadap prospek kawasan ini semakin dalam setelah data ekonomi menunjukkan bahwa perekonomian AS relatif lebih tangguh.
Sejumlah investor masih menahan posisi beli untuk euro sebagai antisipasi depresiasi berkepanjangan dolar AS yang telah menjadi salah satu strategi favorit pasar sepanjang tahun ini. Sejumlah bank internasional seperti Morgan Stanley dan Barclays Plc masih memproyeksikan penguatan lebih lanjut bagi mata uang bersama tersebut.