Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah dunia tergelincir setelah OPEC+ kembali menaikkan produksi secara signifikan, memperuncing kekhawatiran akan kelebihan pasokan global.
Langkah ini diambil di tengah bayang-bayang perlambatan ekonomi yang dipicu perang dagang yang digagas Amerika Serikat, yang juga berdampak pada konsumsi energi global.
Melansir Bloomberg, Senin (4/8/2025), harga minyak mentah Brent kontrak Oktober turun 0,5% ke US$69,32 per barel pada pukul 05.24 WIB. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) September melemah 0,5% ke US$66,98 per barel.
Harga minyak mentah menguat setelah OPEC+ mengumumkan tambahan produksi sebesar 547.000 barel per hari mulai September. Peningkatan ini mempercepat pemulihan pasokan yang sebelumnya ditangguhkan secara sukarela, satu tahun lebih cepat dari rencana semula.
OPEC+ juga membuka kemungkinan untuk melanjutkan pemulihan pasokan sekitar 1,66 juta barel per hari, meskipun belum ada kepastian.
Kepala strategi komoditas RBC Capital Markets LLC Helima Croft mengatakan pesan yang datang dari pertemuan OPEC adalah bahwa semua opsi tetap dipertimbangkan.
Baca Juga
“Termasuk mengembalikan barel-barel itu, menghentikan kenaikan untuk saat ini, atau bahkan membalikkan tindakan kebijakan baru-baru ini," ungkapnya seperti dikutip Bloomberg.
Berdasarkan prospek untuk bulan-bulan ke depan, OPEC+ mungkin perlu mempertimbangkan untuk memangkas produksi.
Keputusan ini muncul setelah reli harga selama tiga bulan terakhir. Namun, tren itu terhenti akhir pekan lalu menyusul laporan melemahnya data ketenagakerjaan di AS, yang memperkuat kekhawatiran akan melambatnya perekonomian terbesar dunia.
Pasar juga tengah menanti langkah Washington selanjutnya yang berpotensi menarget aliran minyak Rusia, termasuk kepada negara-negara pembeli, sebagai bagian dari strategi menekan Moskow agar menghentikan agresi militernya di Ukraina.
Peningkatan produksi September oleh OPEC+ sesuai ekspektasi pasar. Ini menandai pembalikan penuh atas pemangkasan produksi oleh delapan anggota utama koalisi, termasuk Arab Saudi dan Rusia, yang dimulai pada 2023.
Dalam beberapa bulan terakhir, langkah OPEC+ dipandang sebagai strategi agresif untuk merebut kembali pangsa pasar dari produsen non-kartel, termasuk pengebor minyak serpih AS.
Saat tekanan terhadap Rusia meningkat, India—sebagai salah satu pembeli terbesar minyak Rusia—belum memberikan arahan kepada kilangnya untuk menghentikan pembelian.
Namun, Presiden Donald Trump telah memperingatkan New Delhi soal konsekuensi pembelian tersebut, termasuk ancaman sanksi sekunder yang dapat diberlakukan mulai 8 Agustus.