Bisnis.com, JAKARTA – Mata uang rupiah ditutup melemah ke posisi Rp16.246,50 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Rabu (2/7/2025). Sementara itu, sejumlah mata uang di Asia ditutup beragam.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah mengakhiri perdagangan hari ini dengan melemah 0,29% atau 47 poin ke level Rp16.246,50 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar AS terpantau menguat 0,09% ke posisi 96,90.
Sama seperti rupiah, rupee India melemah 0,22%, yen Jepang melemah 0,27%, dolar Singapura melemah 0,05%, won Korea Selatan menguat 0,06%, peso Filipina melemah 0,07%, dan yuan China menguat 0,02%.
Sementara itu, mata uang yang menguat terhadap dolar AS adalah dolar Taiwan yang menguat 0,53%.
Pengamat mata uang dan komoditas Ibrahim Assuaibi menerangkan, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi pergerakan rupiah. Dari luar negeri, ketidakpastian atas implikasi fiskal dari RUU pemotongan pajak dan belanja yang didukung oleh Presiden AS Donald Trump.
“Analisis terbaru menunjukkan RUU tersebut dapat menambah utang pemerintah hingga US$3,3 triliun selama dekade berikutnya,” katanya dalam keterangan resmi, Rabu (2/7/2025).
Baca Juga
Selain itu, kemajuan mengenai kesepakatan dagang antara AS dengan India dinilai dapat membantu negara Asia Selatan menghindari tarif dagang AS yang lebih tinggi– yang akan diputuskan pekan depan.
Dari dalam negeri, posisi utang pemerintah pada akhir 2024 mencapai Rp10.269 triliun. Walaupun utang tersebut termasuk dalam utang yang besar, namun neraca pemerintah per 31 Desember 2024 mampu mencerminkan keuangan yang solid, dengan total aset Rp13.692,4 triliun, kewajiban Rp10.269 triliun, dan ekuitas Rp3.423,4 triliun.
Selain itu, ekuitas negara mencapai Rp3.423,4 triliun dinilai merupakan kekuatan fiskal Indonesia dalam menghadapi sejumlah tantangan seperti ketidakpastian dan risiko global yang masih tinggi.
Ibrahim melanjutkan, Saldo Anggaran Lebih (SAL) per akhir 2024 juga tercatat sebesar Rp457,5 triliun. Jumlah tersebut turun tipis dari posisi awal tahun sebesar Rp459,5 triliun.
“Penurunan tersebut terjadi seiring pemanfaatan SAL untuk pembiayaan APBN. Meski begitu, level SAL masih memadai,” katanya.