Bisnis.com, JAKARTA – Aset mata uang maupun saham di pasar negara berkembang (emerging market) reli di tengah-tengah pelemahan dolar AS. Adapun, pelaku pasar kini fokus ke rilis data ekonomi AS yang berpotensi menambah ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh Bank Sentral AS (The Fed).
Dari kawasan Asia, mata uang rupiah memimpin penguatan. Sementara dari keseluruhan negara berkembang, leu Rumania dan koruna Ceko mencatat kinerja tertinggi atau outperform juga ditopang oleh perundingan AS-Rusia.
Berdasarkan data Bloomberg, tolok ukur dari indeks MSCI untuk mata uang negara berkembang sedikit menguat terhadap greenback, sementara indeks MSCI untuk saham pasar negara berkembang naik 0,2%.
Para pelaku pasar juga menanti kepastian mengenai perpanjangan gencatan senjata dagang antara AS dan China, dengan kesepakatan awal yang dijadwalkan berakhir pada Selasa (12/8/2025)
Fiona Lim, ahli strategi mata uang senior di Maybank, mengatakan kebanyakan mata uang Asia sedang menunggu petunjuk baru dari laporan CPI AS untuk bulan Juli yang akan dirilis besok.
"Pejabat The Fed belakangan ini cenderung lebih dovish, dan pasar kini hampir sepenuhnya memperkirakan akan ada penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan September. Hal ini bisa menjadi faktor pendukung bagi sebagian besar mata uang Asia, kecuali Jepang," kata Lim di Singapura, dikutip Bloomberg, Senin (11/8/2025).
Adapun, mata uang negara berkembang di Asia mendapat tenaga dari pengumuman gencatan senjata selama 90 hari antara AS dan China terkait tarif.
Para pelaku pasar juga menantikan sikap yang lebih dovish dari The Fed, perkembangan hubungan dagang AS-China, serta pembicaraan antara AS dan Rusia yang dijadwalkan berlangsung akhir pekan ini sebagai pemicu potensial bagi reli berikutnya pada aset pasar negara berkembang.
John Woods, CIO Asia Lombard Odier, melihat The Fed kemungkinan akan memangkas suku bunga sebanyak tiga kali tahun ini, bukan hanya dua kali, dengan pemangkasan pertama pada bulan September.
"Secara keseluruhan, ini kemungkinan berdampak negatif bagi dolar AS, dan pada akhirnya bisa menjadi sentimen positif bagi pasar negara berkembang," tuturnya.