Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dibuka melemah pada pembukaan perdagangan hari ini, Senin (11/8/2025), saat indeks dolar AS menguat.
Berdasarkan data Bloomberg pukul 09.00 WIB, nilai rupiah terhadap dolar AS terdepresiasi 0,04% di level Rp16.292. Sementara itu, indeks dolar AS dibuka menguat 0,01% di level 98,18.
Selaras dengan rupiah, mata uang negara Asia lainnya yang juga dibuka melemah adalah dolar Taiwan yang kontraksi 0,17% dan yuan Tiongkok melemah 0,05%.
Sebaliknya, mata uang Asia lainnya yang menguat terhadap dolar AS antara lain dolar Singapura naik 0,05%, won Korea Selatan tumbuh 0,09%, peso Filipina naik 0,21%, atau rupee India yang menguat 0,05% terhadap dolar AS.
Pada penutupan perdagangan terakhir, Jumat (8/8/2025), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terkoreksi 0,04% menjadi Rp16.292,5 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS juga mengalami kontraksi 0,27% di posisi 98,13.
Sebelumnya, Pengamat forex Ibrahim Assuaibi memproyeksi dalam perdagangan pada hari ini mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif, tetapi berpotensi ditutup melemah di rentang Rp16.280 hingga Rp16.330 per dolar AS.
Menurutnya, pergerakan rupiah pada perdagangan dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal seperti sentimen dari pidato para pejabat The Fed yang memberi isyarat tentang langkah bank sentral selanjutnya.
Dari dalam negeri, sentimen pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi domestik. Menurut Ibrahim, target pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5%–6% memerlukan strategi tepat, agar dua mesin utama penggerak ekonomi, yakni sektor pemerintah dan swasta, bisa berjalan seimbang.
Saat ini, kekuatan ekonomi Indonesia masih bertumpu pada permintaan domestik, yakni konsumsi dan investasi (PMTB), yang pada Juni 2025 menyumbang 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Dua mesin penggerak ekonomi, pemerintah dan swasta, harus berfungsi bersama. Selama ini, selalu timpang. Satu mati, satu jalan. Itu tidak cukup. Sebagai contoh, di era Presiden SBY saat harga komoditas tinggi, ekonomi didorong sektor swasta dan utang pemerintah menurun. Sebaliknya, di era Presiden Jokowi, peran pemerintah dominan, terutama saat pandemi," ujarnya dalam keterangan tertulis.
Meskipun ada tantangan global seperti geopolitik dan ketidakpastian ekonomi terus membayangi, lanjutnya, pemerintah harus tetap menjaga momentum domestik, apalagi kontribusinya terhadap ekonomi mencapai 80%. Program seperti Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Merah Putih dia rasa sangat baik untuk menjaga stabilitas, tapi tetap jangan sampai pemerintah mengabaikan sektor swasta.
Selain itu, sambungnya, pemerintah juga perlu mendorong perbankan lebih agresif menyalurkan pembiayaan ke dunia usaha untuk menghidupkan sisi konsumsi dan investasi.
"Bank Indonesia terus menurunkan suku bunga acuan, sehingga para kreditur kembali rame mendapatkan pinjaman dari perbankan," pungkasnya.