Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terkoreksi 0,04% pada penutupan perdagangan pekan ini, Jumat (8/8/2025).
Berdasarkan data Bloomberg pukul 15.00 WIB, rupiah ditutup turun 0,04% menjadi Rp16.292,5 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS juga mengalami kontraksi 0,27% di posisi 98,13.
Selain nilai tukar rupiah, pada penutupan perdagangan hari ini mayoritas mata uang negara-negara Asia juga melemah. Misalnya, yen Jepang turun 0,13%, dolar Singapura turun 0,04%, dolar Taiwan kontraksi 0,27%, sementara won Korea Selatan kontraksi 0,21%.
Sebaliknya, mata uang negara Asia yang menguat terhadap dolar AS dalam perdagangan hari ini antara lain seperti rupee India yang naik 0,02% dan baht Thailand yang naik 0,02%.
Pengamat forex Ibrahim Assuaibi mengatakan pergerakan rupiah pada perdagangan hari ini dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal seperti para pedagang sedang memperhatikan pidato para pejabat The Fed, untuk mendapatkan isyarat tentang langkah bank sentral selanjutnya.
Pada hari Kamis lalu, Presiden Fed Atlanta Raphael Bostic menegaskan kembali pandangannya bahwa satu kali pemotongan suku bunga sudah tepat untuk tahun ini, tetapi menambahkan bahwa masih banyak data yang harus ditunggu sebelum pertemuan berikutnya.
Baca Juga
Sementara itu, sebuah laporan Bloomberg mengatakan Gubernur Fed Christopher Waller telah muncul sebagai pilihan utama Trump untuk menggantikan Ketua Fed saat ini, Jerome Powell, yang akan mengundurkan diri pada pertengahan 2026. Waller termasuk di antara dua anggota dewan Fed yang memberikan suara untuk penurunan suku bunga pada bulan Juli, sejalan dengan tuntutan Trump.
"Selain itu, Presiden AS Donald Trump yang menguraikan pembatasan lebih lanjut pada industri minyak Rusia, khususnya pengenaan tarif tinggi terhadap India. Tarif timbal balik Trump terhadap mitra dagang utama mulai berlaku sejak Kamis, memicu kekhawatiran atas meningkatnya gangguan ekonomi di seluruh dunia, yang pada gilirannya dapat menekan permintaan minyak," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (8/8/2025).
Sedangkan dari faktor internal, menurutnya target pemerintah yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5–6% memerlukan strategi tepat agar dua mesin utama penggerak ekonomi, yakni sektor pemerintah dan swasta, bisa berjalan seimbang. Saat ini, kekuatan ekonomi Indonesia masih bertumpu pada permintaan domestik, yakni konsumsi dan investasi (PMTB), yang pada Juni 2025 menyumbang 90%dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Dua mesin penggerak ekonomi, pemerintah dan swasta, harus berfungsi bersama. Selama ini, selalu timpang. Satu mati, satu jalan. Itu tidak cukup. Sebagai contoh, di era Presiden SBY saat harga komoditas tinggi, ekonomi didorong sektor swasta dan utang pemerintah menurun. Sebaliknya, di era Presiden Jokowi, peran pemerintah dominan, terutama saat pandemi," ujarnya.
Ibrahim melanjutkan, meskipun ada tantangan global seperti geopolitik dan ketidakpastian ekonomi terus membayangi, pemerintah harus tetap menjaga momentum domestik, apalagi kontribusinya terhadap ekonomi mencapai 80%. Program seperti Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Merah Putih dia rasa sangat baik untuk menjaga stabilitas, tapi tetap jangan sampai pemerintah mengabaikan sektor swasta.
Selain itu, sambung dia, pemerintah juga perlu mendorong perbankan lebih agresif menyalurkan pembiayaan ke dunia usaha untuk menghidupkan sisi konsumsi dan investasi. Apalagi, Bank Indonesia terus menurunkan suku bunga acuan, sehingga para kreditur (pengusaha) kembali rame mendapatkan pinjaman dari debitor (perbankan).
Dengan perhitungan-perhitungan itu, dia memproyeksi pada perdagangan berikutnya rupiah akan melanjutkan tren negatifnya.
"Untuk perdagangan Senin depan, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp16.280-Rp16.330," pungkasnya.