Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan bergerak dalam rentang konsolidasi dalam waktu dekat sebelum melanjutkan penguatan.
Melansir Bloomberg, Selasa (22/7/2025), Kepala Strategi Valas dan Suku Bunga Asia Citigroup Rohit Garg mengatakan bahwa mata uang negara berkembang, terutama yang menawarkan imbal hasil tinggi, kerap melemah pada bulan Agustus karena berbagai tekanan musiman.
Namun demikian, ia memperkirakan rupiah akan menguat hampir 2% terhadap dolar AS pada akhir tahun ini.
“Saat ini kami menyarankan sikap netral sambil mencermati perkembangan per 1 Agustus,” kata Garg, seperti dikutip Bloomberg.
Pada perdagangan Senin (21/7), rupiah ditutup melemah 0,16% atau 26,5 poin ke level Rp16.323 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar AS terpantau turun 0,2% ke posisi 98,28.
Pengamat forex Ibrahim Assuaibi mengatakan terdapat sejumlah sentimen yang memengaruhi pergerakan rupiah. Dari luar negeri, meningkatnya ketidakpastian tarif AS terus menjadi perhatian di kalangan investor.
Baca Juga
Uni Eropa saat ini mempersiapkan tindakan balasan atas tarif perdagangan Presiden AS Donald Trump. Hal ini merupakan tanggapan atas tuntutan pejabat AS atas lebih banyak konsesi dari blok tersebut untuk kesepakatan perdagangan potensial, termasuk tarif dasar sebesar 15%, yang mengejutkan para negosiator Uni Eropa.
Di Asia, hasil pemilihan majelis tinggi Jepang, yang diadakan selama akhir pekan, menunjukkan Partai Demokrat Liberal yang berkuasa kehilangan suara mayoritasnya. Partai Demokrat Liberal hanya mengamankan 47 kursi dari 248 kursi yang tersedia, menimbulkan keraguan atas masa depan pemerintahan Jepang.
Garg melihat masih ada potensi penguatan rupiah mendekati Rp16.000 daripada naik lebih tinggi.
Penguatan rupiah ditopang oleh meredanya kekhawatiran investor terhadap potensi perang dagang global serta arah kebijakan fiskal dalam negeri.
Komitmen pemerintah untuk menjaga defisit anggaran di bawah 3% dari produk domestik bruto dan rencana pemanfaatan cadangan kas untuk menutup kekurangan anggaran dinilai membantu meredakan tekanan pasar.
Rupiah juga mendapat dorongan dari pelemahan dolar AS, yang dipicu oleh kebijakan tarif era Trump dan meningkatnya defisit fiskal Negeri Paman Sam.
Garg menambahkan bahwa data ekonomi AS yang melambat, khususnya di sektor ketenagakerjaan, akan memperkuat ekspektasi penurunan suku bunga oleh Federal Reserve dan menopang tren “de-dolarisasi”.
“Kami telah mengambil posisi long rupiah dan short dolar sejak pertengahan April,” ujar Garg.
“Sejauh ini rupiah memang sudah menguat cukup signifikan, dan kami melihat pasangan USD/IDR akan bergerak stabil dalam beberapa pekan ke depan — utamanya karena faktor eksternal, bukan domestik.”
Tarif 19% Sudah Final
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa tarif impor 19% dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump sudah bersifat final dan tidak serta merta berlaku 1 Agustus 2025, bisa lebih awal maupun lebih lama.
Airlangga menjelaskan bahwa kesepakatan tarif akan berlaku bila mana joint statement atau kesepakatan bersama tersebut diumumkan lebih lanjut oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
“Nah ini [kapan waktunya] akan ditentukan menunggu pengumuman lanjutan. Bisa lebih cepat, bisa lebih lama [dari 1 Agustus],” ujarnya dalam konferensi pers usai sosialisasi tarif 19% bersama eksportir di kantornya, Senin (21/7/2025).
Dengan demikian, pada 1 Agustus mendatang, Indonesia bersama negara yang sudah sepakat dengan Trump—seperti Inggris, China, dan Vietnam—tidak lagi terkena tarif resiprokal yang tinggi.
Tarif yang berlaku nantinya selagi menunggu joint statement diumumkan, yakni tarif dasar sebesar 10% dan tarif most favored nation (MFN).