Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat ditutup melemah tajam pada Rabu (21/5/2025), terseret lonjakan imbal hasil Treasury di tengah kekhawatiran pasar bahwa rencana pemotongan pajak Presiden Donald Trump akan memperparah beban utang negara hingga triliunan dolar.
Melansir Reuters, Kamis (22/5/2025), indeks Dow Jones Industrial Average ambles 816,80 poin atau 1,91% ke level 41.860,44. S&P 500 turun 95,85 poin atau 1,61% ke posisi 5.844,61, sementara Nasdaq Composite terkoreksi 270,07 poin atau 1,41% ke 18.872,64.
Sebanyak 10 dari 11 sektor utama dalam indeks S&P 500 tertekan. Koreksi terbesar terjadi pada sektor real estat, layanan kesehatan, keuangan, utilitas, konsumsi diskresioner, dan teknologi.
Sektor layanan komunikasi menjadi satu-satunya yang menguat, ditopang lonjakan saham Alphabet—induk Google—yang naik 2,7%. Di sisi lain, Nvidia terkoreksi 1,9%, Apple turun 2,3%, dan Tesla anjlok 2,7%.
Ketiga indeks utama Wall Street mencatat pelemahan harian terbesar dalam satu bulan terakhir. Tekanan serupa juga dirasakan oleh saham-saham berkapitalisasi kecil, dengan indeks Russell 2000 membukukan penurunan harian terdalam sejak 10 April.
Kenaikan imbal hasil obligasi US Treasury didorong oleh lemahnya minat pasar dalam lelang obligasi 20 tahun senilai US$16 miliar yang dilakukan Departemen Keuangan AS. Imbal hasil obligasi 10 tahun melonjak 10,8 basis poin menjadi 4,589%, tertinggi sejak pertengahan Februari.
Baca Juga
Di tengah ketidakpastian fiskal, sebuah komite di Kongres menggelar sidang luar biasa. Partai Republik tengah bergulat dengan perpecahan internal dalam membahas rencana pemotongan anggaran, termasuk untuk program kesehatan Medicaid.
Analisis independen memperkirakan bahwa rancangan undang-undang yang diusulkan Partai Republik berpotensi menambah utang federal sebesar US$3 triliun hingga US$5 triliun—di luar total utang pemerintah yang saat ini telah menembus US$36,2 triliun.
Michael Farr, CEO perusahaan investasi Farr, Miller & Washington, menilai pasar sedang dikepung berbagai isu penting yang berpotensi membawa dampak besar.
“Banyak dari isu-isu ini bisa jadi hanya ancaman sementara. Pasar tengah mencoba memilah mana yang benar-benar berdampak, mana yang substansial, dan mana yang mungkin hanya taktik negosiasi dari pihak pemerintahan,” ujar Farr.