Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dibuka menguat ke level Rp16.525 pada perdagangan hari ini, Kamis (20/3/2025). Rupiah menguat bersama sejumlah mata uang Asia lainnya.
Mengutip data Bloomberg pukul 09.00 WIB, rupiah dibuka menguat 0,04% ke Rp16.525 per dolar AS. Adapun indeks dolar AS menguat 0,02% ke 103,4.
Mata uang di Asia Pasifik tercatat dibuka mayoritas menguat, dengan yen Jepang naik 0,28%, dolar Hong Kong menguat 0,00%, dolar Taiwan naik 0,10%, won Korea Selatan menguat 0,29%, dan yuan China melemah 0,04%.
Kemudian dolar Singapura menguat 0,03%, peso Filipina menguat 0,18%, rupee India menguat 0,15%, ringgit Malaysia menguat 0,18%, dan baht Thailand naik 0,11% per dolar AS.
Melansir Reuters, dolar melemah pada Kamis setelah Federal Reserve mengindikasikan kemungkinan pemotongan suku bunga akhir tahun ini, meskipun ketidakpastian terkait tarif AS masih membebani pasar.
Para pembuat kebijakan AS memperkirakan kemungkinan dua kali pemotongan suku bunga sebesar seperempat poin tahun ini, sama seperti proyeksi median tiga bulan lalu, meskipun mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan inflasi yang lebih tinggi.
Pada hari Rabu, The Fed mempertahankan suku bunga acuannya dalam kisaran 4,25%-4,50%.
"Kami tidak akan terburu-buru untuk mengambil tindakan," kata Ketua The Fed Jerome Powell.
"Sikap kebijakan kami saat ini cukup baik untuk menghadapi risiko dan ketidakpastian yang ada... Hal yang tepat dilakukan saat ini adalah menunggu kejelasan lebih lanjut mengenai kondisi ekonomi."
Komentar Powell dan pernyataan The Fed menyoroti tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan dalam menavigasi rencana Presiden Donald Trump untuk mengenakan bea masuk pada impor dari mitra dagang AS dan dampaknya terhadap perekonomian.
"Fakta bahwa ekonomi masih tumbuh, tingkat pengangguran rendah, dan inflasi tetap tinggi berarti suku bunga akan tetap bertahan hingga akhir musim panas," kata para ekonom ING dalam sebuah catatan.
"The Fed akan berhati-hati untuk tidak bertindak terlalu cepat, mengingat potensi kenaikan inflasi."