Bisnis.com, JAKARTA – Komitmen global untuk mewujudkan energi bersih mendesak emiten-emiten batu bara melakukan diversifikasi bisnis. Tak semudah membalikkan tangan, diversifikasi butuh ongkos yang besar.
VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi melihat komitmen global mewujudkan energi bersih sangat kuat. Apalagi, dalam Conference of the Parties ke-26 atau COP26 Glasgow pada 2021 sebanyak 140 negara yang mewakili 90% dari PDB global telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission.
"Kami melihat dalam skenario resmi Net Zero Emissions NZE by 2050, permintaan batu bara global diperkirakan menurun 90% hingga 2050. Kelistrikan di negara maju didekarbonisasi sepenuhnya pada 2035, dan global pada 2040," kata Oktavianus kepada Bisnis, Senin (18/8/2025).
Komitmen global untuk meninggalkan energi fosil diperkuat dengan hasil COP28 di Dubai Uni Emirat Arab pada akhir 2023 lalu. Oktavianus menjelaskan, konferensi tingkat tinggi tersebut menghasilkan komitmen untuk meningkatkan energi baru terbarukan (EBT) tiga kali lipat yang diikuti dengan penghentian deforestasi.
"Sehingga kami melihat permintaan emiten EBT akan semakin tinggi untuk jangka panjang," ujarnya.
Kondisi tersebut membuat emiten batu bara mau tidak mau melakukan diversifikasi bisnis. Oktavianus mencatat dalam kuartal I/2025 ini beberapa emiten batu bara sudah mulai melakukan transisi ke EBT dan hasilnya bisa memberi sumbangsih atas pendapatan perusahaan.
Contohnya adalah seperti yang dilakukan oleh PT Indika Energy Tbk. (INDY). Pendapatan INDY non-batu bara meningkat 18%, disumbang dari anak usaha PT Empat Mitra Indika Tenaga Surya (IMITS) yang menggarap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Meski begitu, profit terbesar masih bersumber dari anak usaha yang fokus pada penambangan batu bara, PT Kideco Jaya Agung.
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi, total pendapatan INDY per kuartal II/2025 mengalami kontraksi 20,05% year on year (YoY) menjadi US$956,82 juta, didorong penurunan pendapatan penjualan batu bara sebesar 25,94% YoY menjadi US$788,51 juta.
Kontribusi batu bara dari total pendapatan INDY per kuartal II/2025 mengecil menjadi 82,41%, dibandingkan kontribusinya per kuartal II/2024 sebesar 88,96%.
Contoh lainnya, PT Alamtri Resource Indonesia Tbk. (ADRO) yang telah mengalihkan fokus bisnisnya dari batu bara. ADRO akan lebih berfokus pada bisnis hijau dan pengembangan proyek-proyek ramah lingkungan dengan pilar bisnis Adaro Minerals dan Adaro Green. Akhir 2024 lalu, ADRO telah melakukan spin-off atau pemisahan usaha bisnis baru baranya, PT Adaro Andalan Indonesia Tbk. (AADI).
Dengan bergabungnya ADRO dalam konsorsium PT Kayan Hidropower Nusantara (PT KHN) pada Oktober 2022 lalu, ADRO terlibat dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mentarang Induk di Kalimantan Utara.
PLTA Mentarang Induk digadang-gadang akan menjadi salah satu PLTA terbesar di Indonesia. Pembangkit ini direncanakan memiliki kapasitas 1.375 megawatt (MW) dan dapat menghasilkan listrik 9 terra watt hour (TWh) per tahun.
Tak hanya itu, ADRO melalui Adaro Solar International menjadi satu dari lima perusahaan yang telah mendapat izin untuk melakukan ekspor listrik berbasis energi bersih ke Singapura. Realisasinya kini tinggal menunggu negosiasi Kementerian ESDM dengan pihak Singapura.
Berikutnya, ADRO melalui PT Adaro Power pada 2023 telah menandatangani perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PT PLN (Persero) untuk memasok listrik berenergi bersih melalui pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) berkapasitas 70 MW di Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
"ADRO menargetkan pendapatan EBT 50% hingga 2030," ujar Oktavianus.
Emiten lain yang melakukan diversifikasi bisnis adalah PT Harum Energy Tbk. (HRUM). Oktavianus mencatat sepanjang 2024 pendapatan HRUM mencapai 49% datang dari nikel.
Menilik laporan keuangan kuartal I/2025, porsi pendapatan HRUM dari batu bara mengecil hanya menjadi 36,99%, sedangkan pendapatan dari nikel sebesar 62,35%. Porsinya berbeda dibanding kuartal I/2024, di mana sebesar 50,81% pendapatan bersumber dari batu bara dan 47,78% datang dari nikel.
"Sedangkan, emiten batu bara lain seperti ITMG, PTBA dan BYAN masih memiliki skala yang kecil untuk non-coal dan EBT," ujarnya.
Oktavianus mengatakan diversifikasi bisnis batu bara membutuhkan capital expenditure (capex) yang besar. Misalnya, INDY mengeluarkan dana sebesar US$18,5 juta pada kuartal I/2025 untuk belanja modal, dengan sebagian besar dialokasikan untuk proyek pertambangan emas sebesar US$15,3 juta dan bisnis hijau sebesar US$1,3 juta.
Sebagai konsekuensi tersebut, menurutnya inisiasi dari proyek EBT dapat menurunkan return on equity (ROE) jangka pendek, apabila proyek yang digarap masih membutuhkan belanja modal yang besar dan belum menghasilkan produksi.
Selain itu, jika proyek diversifikasi batu bara dibiaya melalui utang menurutnya hal ini juga berpotensi meningkatkan debt to equity (DER) karena kebutuhan yang besar.
"Meski demikian, alokasi capex yang jelas ke EBT bisa menurunkan cost of capital jangka menengah bila berhasil," pungkasnya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.