Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah analis pasar saham tidak merekomendasikan emiten rokok sebagai instrumen investasi. Pasalnya, industri sedang tertekan oleh maraknya peredaran rokok ilegal.
Pangsa rokok ilegal saat ini perlahan menggeser produk legal, yakni meningkat dari 28% pada 2021 menjadi 46% pada 2024. Hal ini membuat sejumlah emiten rokok mencatatkan kontraksi penjualan mereka.
"Rokok ilegal ini juga membuat emiten rokok semakin menyerah pada industrinya dan mulai ekspansi berbagai lini bisnis lain karena semakin terkontraksinya pendapatan dan penurunan volume penjualan," kata Analis MNC Sekuritas PIK Hijjah Marhama, Senin (4/8/2025).
Dia menilai prospek emiten rokok akan cukup berat hingga akhir tahun ini. Dibandingkan peredaran rokok ilegal, menurutnya beberapa katalis penahan penurunan yang lebih dalam antara lain seperti cukai yang tidak naik hingga akhir tahun dan stabilitas harga jual eceran atau HJE, serta basis konsumen loyal yang tidak tumbuh signifikan.
Merujuk kinerja beberapa emiten rokok dalam semester I/2025, PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) menorehkan kontraksi penjualan bersih 4,57% year on year (YoY) menjadi Rp55,17 triliun. Laba bersih perusahaan juga mengecil 35,83% YoY menjadi Rp2,13 triliun.
Sedangkan, PT Gudang Garam Tbk. GGRM mencatat kontraksi pendapatan 11,30% YoY menjadi Rp44,37 triliun. Laba bersih perusahaan bahkan terkoreksi 87,01% YoY menjadi Rp120,25 miliar.
Baca Juga
"HMSP cenderung lebih dominan di segmen sigaret kretek mesin (SKM) dan merek yang kuat. Dan juga diversifikasi ke IQOS [rokok tanpa asap] secara pendapatan bisa lebih baik di banding GGRM dari segi segmentasi rokok," ujarnya.
Kondisi industri rokok yang sedang sulit ini menurutnya membuat Gudang Garam Group mulai melakukan ekspansi ke sektor-sektor bisnis lainnya seperti properti hingga rumah sakit yang dianggap lebih memberikan profit.
"Namun secara investasi tidak lagi layak jika mengincar growth di emiten rokok," pungkasnya.
Setali tiga uang, Ekonom dan Praktisi Pasar Modal Hans Kwee menilai peredaran rokok ilegal akan sulit diberantas karena ada selisih harga yang tinggi dengan rokok ilegal. Hal ini menurutnya akan membuat emiten rokok sulit untuk mencatat pertumbuhan bisnis.
"Di tengah daya beli masyarakat yang turun, masyarakat memilih rokok yang lebih murah. Saya pikir saat ini kurang tepat membeli emiten rokok," ujar Hans.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.