Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Adu Tangguh Prospek Saham HMSP & GGRM, Mana Lebih Unggul?

Prospek saham emiten rokok dinilai masih menghadapi tantangan besar di tengah stagnasi pertumbuhan volume penjualan, pelemahan daya beli, serta kenaikan cukai.
Karyawan menyusun bungkus rokok bercukai di Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menyusun bungkus rokok bercukai di Jakarta. Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Prospek saham emiten rokok dinilai masih menghadapi tantangan besar di tengah stagnasi pertumbuhan volume penjualan, pelemahan daya beli, serta ancaman kenaikan cukai berlipat ganda pada 2026.

Namun, di antara dua pemain utama sektor ini, PT H.M Sampoerna Tbk. (HMSP) dinilai memiliki posisi lebih solid dari PT Gudang Garam Tbk. (GGRM).

Analis MNC Sekuritas PIK Hijjah Marhama menilai meskipun tren inflasi dan suku bunga menurun, efeknya terhadap daya beli rokok tidak signifikan.

“Rokok cenderung netral terhadap inflasi dan BI Rate. Walau secara teori daya beli bisa meningkat saat suku bunga dan inflasi rendah, tapi tidak serta mendorong lonjakan konsumsi,” ujar Rahma kepada Bisnis, Kamis (17/7/2025).

Untuk itu, volume penjualan HMSP dan GGRM diperkirakan masih stagnan. Namun, HMSP dinilai lebih solid berkat pertumbuhan segmen sigaret kretek tangan (SKT) yang mencapai 14% dan adanya diversifikasi produk seperti IQOS.

Adapun industri rokok juga disebut menghadapi tantangan berlapis dari persaingan produk alternatif seperti vape dan IQOS hingga rokok ilegal.

“GGRM bahkan telah melakukan diversifikasi ke sektor kesehatan, properti, jalan tol, dan perbankan, karena menyadari bahwa pertumbuhan industri rokok semakin terbatas,” pungkas Rahma.

Secara fundamental, HMSP diperkirakan mencatat pertumbuhan pendapatan tdi kisaran 1,6%–2%pada 2025 menjadi sekitar Rp120 triliun. Pada tahun lalu, HMSP meraih pendapatan sebesar Rp117,88 triliun, naik 1,64% dibanding 2023.

MNC Sekuritas memberikan target harga fundamental saham HMSP di kisaran Rp900, dengan batas risiko di level Rp500. Saat ini, harga saham perseroan berada di level Rp605 per saham atau turun 4,72% sejak awal tahun.

Sementara itu, analis Samuel Sekuritas Harry Su turut menyoroti risiko utama yang masih membayangi sektor ini, yakni pelemahan daya beli, pelemahan nilai tukar rupiah, serta tingginya peredaran rokok ilegal.

“Kami melihat pelemahan nilai tukar rupiah sebesar -2,4% pada semester I/2025 dibanding tahun lalu, ditambah daya beli masyarakat yang lemah, masih menjadi tekanan utama bagi penjualan rokok,” ujar Harry.

Menurutnya, kondisi tersebut berdampak langsung terhadap tekanan volume penjualan dan profitabilitas emiten rokok, termasuk HMSP dan GGRM.  

KENAIKAN CUKAI

Di sisi lain, emiten rokok juga diproyeksikan masih menghadapi tekanan kinerja pada semester II/2025 hingga 2026. Hal ini seiring dengan risiko kenaikan ganda cukai hasil tembakau (CHT) dan terbatasnya daya beli masyarakat.

Analis Indo Premier Sekuritas Andrianto Saputra dan Nicholas Bryan, dalam riset terbarunya, memandang kinerja PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) masih penuh tantangan.

Berdasarkan laporan pratinjau kinerja kuartal II/2025, laba bersih HMSP diperkirakan mencapai Rp1,9 triliun atau melompat 80,8% year on year (YoY) karena efek basis yang rendah pada tahun sebelumnya.

Sebaliknya, laba bersih GGRM diproyeksikan turun hingga 69% secara tahunan akibat beban tetap yang tinggi dan tekanan volume penjualan.

“Secara keseluruhan, laba HMSP diperkirakan sesuai ekspektasi konsensus, sementara GGRM di bawah,” tulis publikasi riset yang disusun oleh Andrianto dan Nicholas dikutip Kamis (17/7/2025).

Dari sisi top line, pendapatan HMSP diproyeksikan turun 2,8% YoY menjadi Rp27,9 triliun pada kuartal II/2025 dan GGRM terkoreksi 8,2% ke Rp21,8 triliun. Adapun Indo Premier memperkirakan volume penjualan HMSP bakal stagnan, sementara GGRM masih menunjukkan penurunan dua digit.

Sementara itu, mereka menilai prospek emiten rokok dibayangi kenaikan ganda CHT. Sebab, secara historis, pemerintah kerap menerapkan kebijakan kenaikan ganda cukai setelah satu tahun tanpa penyesuaian.

“Karena tidak ada kenaikan cukai pada 2025, kami memperkirakan kenaikan yang lebih tajam dari biasanya kemungkinan besar terjadi pada 2026,” ucapnya.

Berdasarkan catatan Indo Premier, baik HMSP maupun GGRM tidak mampu meneruskan sepenuhnya beban kenaikan cukai sebagaimana terjadi pada 2020-2024. Hal ini tecermin dari penurunan margin laba kotor pada periode tersebut.

Oleh sebab itu, dengan daya beli masyarakat yang masih lemah, Andrianto dan Nicholas memperkirakan skenario serupa bakal terulang pada 2026.

“Meskipun valuasi saham sektor ini tergolong menarik, kami mempertahankan pandangan netral karena lemahnya daya penetapan harga serta potensi kenaikan ganda cukai pada 2026,” pungkas keduanya.

________

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro