Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nasib IHSG di Tengah Tarik Ulur Tarif Trump dan Penurunan Suku Bunga BI

IHSG diproyeksikan akan tersengat oleh dua sentimen kuat ke depan yakni kebijakan tarif AS terhadap RI sebesar 19% serta momentum penurunan suku bunga BI.
Pengunjung beraktivitas di main hall Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Jumat (10/1/2025)./JIBI/Bisnis/Abdurachman
Pengunjung beraktivitas di main hall Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Jumat (10/1/2025)./JIBI/Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA — Indeks harga saham gabungan (IHSG) diproyeksikan akan tersengat oleh dua sentimen kuat ke depan yakni kebijakan tarif resiprokal AS terhadap Indonesia sebesar 19% serta momentum penurunan suku bunga acuan.

Presiden AS Donald Trump baru saja menyatakan bahwa Indonesia bakal dikenakan tarif sebesar 19% atau lebih rendah dari yang sebelumnya 32%. Keputusan tersebut disampaikan Trump usai dilakukannya serangkaian proses negosiasi antara kedua negara hingga akhirnya mencapai kesepakatan.

Namun, ada sejumlah syarat yang diajukan AS ke Indonesia. Dalam kesepakatan tersebut, dia mengatakan bahwa barang-barang Indonesia yang masuk ke AS bakal dikenakan tarif 19%. Adapun, barang-barang dari AS tidak akan dikenai tarif sama sekali.

Di sisi lain, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia hari ini, Rabu (16/7/2025) memutuskan memangkas suku bunga acuan BI Rate menjadi 5,25%.

Pemangkasan tersebut menjadi yang ketiga dalam tahun ini. Terakhir, BI memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada Mei lalu.

Seiring dengan munculnya dua sentimen tersebut, IHSG menguat sebesar 0,72% atau 51,52 poin menuju posisi 7.192,01 pada perdagangan hari ini, Rabu (16/7/2025). IHSG pun berada di zona hijau, menguat 1,58% sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) atau sejak perdagangan perdana 2025.

Equity Research Analyst Panin Sekuritas Felix Darmawan menilai ke depan, pospek IHSG akan sangat ditentukan oleh tarik-ulur dua sentimen besar itu, yakni tarif resiprokal dari Trump dan penurunan BI Rate.

"Di satu sisi, keputusan BI memangkas suku bunga jadi angin segar bagi pasar, karena bisa menurunkan cost of capital dan dorong konsumsi serta investasi, yang pada akhirnya bisa menopang laba emiten, khususnya di sektor properti, konstruksi, dan consumer non-cyclicals," kata Felix kepada Bisnis pada Rabu (16/7/2025).

Namun di sisi lain, terdapat sentimen tarif Trump ke Indonesia sebesar 19% yang akan tetap menjadi 'awareness alert' untuk investor, terutama yang memiliki eksposur besar ke pasar ekspor AS.

"Sektor yang bisa terdampak negatif [tarif Trump] mencakup tekstil dan garmen, alas kaki, hingga komponen otomotif dan farmasi, tergantung komoditas apa saja yang kena tarif," ujar Felix.

Community & Retail Equity Analyst Lead PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Angga Septianus menilai kebijakan tarif 19% yang dikenakan AS terhadap Indonesia lebih rendah dari tarif yg diumumkan pada awal April dan Juli yakni 32%. Tarif 19% juga lebih rendah dibandingkan negara tetangga.

Sementara, penurunan suku bunga BI memberikan sinyal bahwa otoritas moneter siap mendukung pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas nilai tukar, dan menstimulus permintaan domestik.

"Kebijakan ini [penurunan suku bunga acuan BI] secara historis memiliki korelasi positif dengan peningkatan likuiditas di pasar saham serta memperkuat minat investor asing terhadap aset berisiko, terutama jika didukung oleh inflasi yang terkendali dan outlook fiskal yang tetap solid," ujar Angga.

Kebijakan pelonggaran moneter juga umumnya mendukung sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga, antara lain bank jumbo seperti PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI), dan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA).

Pelonggadan moneter dinilai mampu menurunkan biaya dana dan potensi pertumbuhan kredit yang lebih tinggi bagi perbankan.

Selain itu, emiten properti seperti PT Ciputra Development Tbk. (CTRA), PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSDE), dan PT Summarecon Agung Tbk. (SMRA) terdampak positif seiring lebih rendahnya suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dan meningkatnya daya beli konsumen properti.

Halaman
  1. 1
  2. 2
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ibad Durrohman
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper