Bisnis.com, JAKARTA — Kondisi ketidakpastian sentimen global mulai dari konflik geopolitik hingga perang dagang dipastikan bakal mempengaruhi laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada paruh kedua di 2025.
Semester II/2025 baru juga dimulai, tetapi dampaknya sudah terasa bagi IHSG yang bergerak merunduk.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (1/7/2025), indeks komposit terkoreksi 0,18% menuju level 6.915,36. Koreksi ini terjadi terutama pada saham sektor perbankan, sementara saham-saham siklikal dan energi berhasil menopang IHSG.
Koreksi kembali berlanjut pada perdagangan hari ini, Rabu (2/7/2025). IHSG terpantau melemah hampir menyentuh 1% hingga pukul 14.50 WIB dengan 170 saham menguat, 395 saham menurun, dan 213 saham jalan di tempat.
Pelemahan IHSG terjadi di tengah rilis sejumlah indikator ekonomi domestik yang menunjukkan sinyal campuran. Di satu sisi, Indonesia masih didukung oleh surplus perdagangan yang solid, tetapi di sisi lain tantangan muncul dari sektor manufaktur yang kembali tertekan.
Merespons hal tersebut, ekonom senior Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menuturkan neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus sebesar US$4,30 miliar pada Mei 2025, tertinggi dalam hampir tiga tahun terakhir. Adapun kinerja ekspor juga meningkat 9,68% year on year (YoY) didorong oleh komoditas unggulan seperti batu bara, minyak sawit, dan nikel.
Baca Juga
Namun, tantangan muncul dari sisi sektor manufaktur yang menunjukkan tekanan lanjutan. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juni 2025 turun ke level 46,9, menandai kontraksi selama tiga bulan berturut-turut.
“Output juga mengalami kontraksi, meskipun dengan laju yang lebih lambat. Sementara itu, lapangan kerja mencatatkan penurunan terbesar dalam hampir empat tahun,” ujarnya dalam publikasi riset dikutip Rabu (2/7/2025).
Di sisi lain, inflasi berada dalam kendali dengan inflasi tahunan Juni 2025 sebesar 1,87% atau naik dari 1,60% pada Mei. Inflasi inti justru turun ke 2,37%, terendah dalam lima bulan terakhir.
Fithra menilai bahwa outlook ekonomi Indonesia pada paruh kedua 2025 tetap netral-positif dengan potensi pertumbuhan berasal dari investasi energi terbarukan, pelonggaran regulasi impor, serta inisiatif digitalisasi dan reformasi BUMN.
Kendati demikian, sentimen pasar akan sangat dipengaruhi oleh dinamika eksternal seperti kebijakan tarif global pasca 9 Juli dan ketegangan geopolitik di kawasan.
Di pasar saham, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp816,7 miliar di pasar reguler, sementara net buy sebesar Rp120,7 miliar terjadi di pasar negosiasi hingga kemarin. Pergerakan ini mencerminkan sikap hati-hati investor global terhadap emerging market termasuk Indonesia.
Hal serupa juga dikatakan analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo, bahwa ketidakpastian global masih menjadi faktor utama penahan laju IHSG. Konflik yang berlarut di Timur Tengah dan kekhawatiran eskalasi perang dagang global turut membayangi pergerakan IHSG.
“Pasar masih menanti keputusan terkait kelanjutan trade war yang diumumkan pada 9 Juli mendatang. Selain itu, Presiden AS Donald Trump juga diisukan ingin mengganti [Ketua The Fed] Jerome Powell agar bisa menurunkan suku bunga,” ujarnya, Rabu (2/7/2025).
Pada semester II/2025, Kiwoom memasang proyeksi konservatif terhadap IHSG dengan target 7.400–7.500. Asumsinya adalah stabilitas eksternal terjaga dan didukung katalis domestik yang selektif.
Sementara itu, dari dalam negeri, saham-saham konglomerasi dinilai menjadi penopang utama IHSG. Aksi korporasi seperti merger & akuisisi (M&A), rights issue, dan ekspansi bisnis dipandang mampu memberikan dorongan likuiditas maupun sentimen positif terhadap saham-saham terkait.
Di sisi lain, dia menyatakan surplus neraca perdagangan Indonesia yang konsisten meningkat bisa menjadi bantalan fundamental IHSG. Namun, konsistensi kinerja ekspor menjadi faktor kunci.
Lebih lanjut, pelemahan IHSG hari ini terjadi di tengah rilis sejumlah indikator ekonomi domestik yang menunjukkan sinyal campuran. Di satu sisi, Indonesia masih didukung oleh surplus perdagangan yang solid, tetapi di sisi lain tantangan muncul dari sektor manufaktur yang kembali tertekan.
Kendati demikian, terdapat secercah harapan bahwa kinerja IHSG bisa berbalik menjadi penguatan pada penghujung 2025. Analis menilai, saham-saham yang bergerak di bidang bahan baku hingga energi terbarukan bakal menjadi pendorong kinerja indeks.
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Ekky Topan memproyeksikan, IHSG akan terparkir pada area 7.622 di akhir semester II/2025.
Alasannya, IHSG bakal didorong oleh sejumlah faktor pendorong yang mulai terlihat sejak pertengahan tahun, terutama bagi sektor-sektor yang mendapatkan benefit dari sentimen domestik dan global.
“Sektor bahan baku seperti emas dan nikel berpotensi menjadi kontributor utama, didukung oleh tren harga komoditas serta dorongan dari agenda hilirisasi pemerintah,” kata Ekky saat dihubungi, Rabu (2/7/2025).
Selain sektor bahan baku, emiten-emiten yang bergerak di bidang energi terbarukan juga dinilai bakal mendapatkan sentimen positif dari kebijakan pemerintah terhadap pembangunan berkelanjutan. Bahkan, sektor ini dinilai dapat memberikan penguatan jangka menengah–panjang terhadap IHSG.
Terlebih lagi, jika kekhawatiran global terhadap perang Israel–Iran dan tarif AS benar-benar mereda, serta terdapat penurunan suku bunga, maka sektor perbankan dan properti turut berpotensi menjadi pendorong penguatan indeks.
"Sektor-sektor ini sangat sensitif terhadap arah suku bunga dan tren likuiditas, sehingga menjadi kandidat pemulihan yang cukup menjanjikan ketika kondisi makro mulai kondusif," katanya.