Bisnis.com, JAKARTA — Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan bergerak fluktuatif pada semester II/2025 seiring sentimen global yang belum menunjukkan kejelasan, mulai dari ketegangan geopolitik hingga arah kebijakan suku bunga di Amerika Serikat.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG membukukan penurunan sebesar 0,49% atau 34,11 poin menuju posisi 6.881,24. Sepanjang hari ini, indeks komposit dibuka pada level 6.896,42 dan sempat menyentuh level tertingginya di 6.905,36.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo mengatakan ketidakpastian global masih menjadi faktor utama penahan laju IHSG. Konflik yang berlarut di Timur Tengah dan kekhawatiran eskalasi perang dagang global turut membayangi pergerakan IHSG.
“Pasar masih menanti keputusan terkait kelanjutan trade war yang diumumkan pada 9 Juli mendatang. Selain itu, Presiden AS Donald Trump juga diisukan ingin mengganti [Ketua The Fed] Jerome Powell agar bisa menurunkan suku bunga,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (2/7/2025).
Pada semester II/2025, Kiwoom memasang proyeksi konservatif terhadap IHSG dengan target 7.400–7.500. Asumsinya adalah stabilitas eksternal terjaga dan didukung katalis domestik yang selektif.
Sementara itu, dari dalam negeri, saham-saham konglomerasi dinilai menjadi penopang utama IHSG. Aksi korporasi seperti merger & akuisisi (M&A), rights issue, dan ekspansi bisnis dipandang mampu memberikan dorongan likuiditas maupun sentimen positif terhadap saham-saham terkait.
“Kami melihat pergerakan IHSG masih bisa didorong oleh saham-saham grup konglomerasi yang aktif melakukan aksi korporasi. Adapun, sektor perbankan kemungkinan masih dalam tekanan karena investor asing cenderung melakukan aksi jual di tengah ketidakpastian global,” ucap Azis.
Di sisi lain, dia menyatakan surplus neraca perdagangan Indonesia yang konsisten meningkat bisa menjadi bantalan fundamental IHSG. Namun, konsistensi kinerja ekspor menjadi faktor kunci.
Lebih lanjut, pelemahan IHSG hari ini terjadi di tengah rilis sejumlah indikator ekonomi domestik yang menunjukkan sinyal campuran. Di satu sisi, Indonesia masih didukung oleh surplus perdagangan yang solid, tetapi di sisi lain tantangan muncul dari sektor manufaktur yang kembali tertekan.
Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menuturkan bahwa neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus sebesar US$4,30 miliar pada Mei 2025, tertinggi dalam hampir tiga tahun terakhir. Adapun kinerja ekspor juga meningkat 9,68% year on year (YoY) didorong oleh komoditas unggulan seperti batu bara, minyak sawit, dan nikel.
Namun, tantangan muncul dari sisi sektor manufaktur yang menunjukkan tekanan lanjutan. Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia pada Juni 2025 turun ke level 46,9, menandai kontraksi selama tiga bulan berturut-turut.
“Output juga mengalami kontraksi, meskipun dengan laju yang lebih lambat. Sementara itu, lapangan kerja mencatatkan penurunan terbesar dalam hampir empat tahun,” ujarnya dalam publikasi riset dikutip Rabu (2/7/2025).
Di sisi lain, inflasi berada dalam kendali dengan inflasi tahunan Juni 2025 sebesar 1,87% atau naik dari 1,60% pada Mei. Inflasi inti justru turun ke 2,37%, terendah dalam lima bulan terakhir.
Fithra menilai bahwa outlook ekonomi Indonesia pada paruh kedua 2025 tetap netral-positif dengan potensi pertumbuhan berasal dari investasi energi terbarukan, pelonggaran regulasi impor, serta inisiatif digitalisasi dan reformasi BUMN.
Kendati demikian, sentimen pasar akan sangat dipengaruhi oleh dinamika eksternal seperti kebijakan tarif global pasca 9 Juli dan ketegangan geopolitik di kawasan.
“Kemampuan Indonesia untuk menavigasi tekanan eksternal sambil memanfaatkan kekuatan internalnya di mineral kritis dan energi terbarukan akan menjadi kunci untuk membentuk masa depan ekonominya dalam beberapa tahun ke depan,” pungkasnya.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.