Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Porsi Reksa Dana di SBN Naik, MI Pilih Tenor 5-10 Tahun

Manajer investasi melihat potensi pasar obligasi akan semakin kuat pada paruh kedua tahun ini dengan tenor 5-10 tahun menjadi yang paling banyak dikoleksi.
Pegawai mengamati pergerakan harga saham dan obligasi di Profindo Sekuritas, Jakarta, Kamis (5/9/2024)./JIBI/Bisnis/Himawan L Nugraha
Pegawai mengamati pergerakan harga saham dan obligasi di Profindo Sekuritas, Jakarta, Kamis (5/9/2024)./JIBI/Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Manajer investasi pengelola reksa dana melihat potensi pasar obligasi akan semakin kuat pada paruh kedua tahun ini. Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor 5-10 tahun pun menjadi favorit yang paling banyak dikoleksi.

Berdasarkan data DJPPR Kemenkeu per 12 Juni 2025, porsi reksa dana di dalam SBN rupiah yang dapat diperdagangkan naik 4,19% ytd menjadi Rp194,85 triliun dari posisi awal tahun Rp187 triliun.

Sementara itu, total kepemilikan investor non-bank secara total mencapai Rp3.544,38 triliun. Jumlah itu mengalami kenaikan 5,16% year-to-date dari posisi pada awal tahun senilai Rp3.370,64 triliun.

Kepemilikan bank atas SBN meningkat lebih tinggi lagi yaitu sebesar 13,99% ytd menjadi Rp1.206,60 triliun. Pada awal tahun, kepemilikan bank tercatat hanya Rp1.058,50 triliun.

CIO BNI Asset Management Farash Farich mengatakan kenaikan porsi kepemilikan reksa dana tersebut mencerminkan kenaikan minat investor institusi terhadap pasar obligasi di tengah kondisi yield yang masih menarik.

"Sentimen positif turut ditopang oleh tren pelonggaran moneter global, seperti penurunan suku bunga oleh ECB dan RBI, serta ekspektasi bahwa The Fed akan mulai membuka ruang pemangkasan suku bunga pada paruh kedua tahun ini," kata Farash kepada Bisnis, Kamis (19/6/2025).

Dia menyebut kebijakan moneter longgar itu mendorong terciptanya aliran modal asing masuk ke pasar keuangan global, termasuk ke negara emerging market seperti Indonesia.

Adapun, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang saat ini berada di kisaran 6,74% diperkirakan bisa reli lebih lanjut menuju 6,4% apabila kondisi makroekonomi terjaga dan arus masuk investor asing berlanjut.

Farash melihat valuasi SUN saat ini kompetitif terhadap negara-negara peers dengan rating yang sama, sehingga pasar obligasi domestik akan menarik hingga akhir tahun.

Dengan kondisi tersebut, BNI AM disebut menyukai tenor pendek hingga bell curve yaitu obligasi dengan tenor 5 hingga 10 tahun. Obligasi dengan tenor itu lebih diminati karena ada penurunan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) sekunder dari 5% menjadi 4%, efektif Juni 2025.

Kebijakan yang menjadi bagian dari langkah Bank Indonesia melonggarkan likuiditas perbankan itu diperkirakan menambah likuiditas hingga Rp78,45 triliun.

Belum lagi, ada obligasi seri FR0081 yang jatuh tempo dengan nilai outstanding sekitar Rp142,2 triliun dan jatuh tempo SRBI sekitar Rp134 triliun. Farash pun melihat dengan posisi pasar yang likuid tersebut, ada potensi perbankan melakukan re-investment atau bond replacement terutama di tenor menengah.

"Tren bull steepening yang terjadi di pasar obligasi domestik, di mana yield jangka pendek turun lebih signifikan dibanding jangka panjang, juga mendukung strategi overweight di tenor pendek hingga menengah yang saat ini menawarkan yield optimal dengan risiko durasi yang relatif lebih rendah," terang Farash.

Head of Investments PT Eastspring Investments Indonesia Liew Kong Qian melihat hal yang sama, dengan pemangkasan suku bunga lanjutan oleh BI berpotensi menciptakan kurva bull steepening yang cenderung menguntungkan portofolio dengan fokus obligasi tenor pendek.

"Strategi investasi [Eastspring Indonesia] dengan alokasi yang seimbang dengan posisi long pada tenor 5-10 tahun, serta pendekatan taktis pada tenor panjang untuk kinerja yang optimal," kata Liew.

Namun demikian, Liew melihat ada tantangan volatilitas di pasar obligasi jelang akhir tahun walau lebih terkendali dibandingkan pasar saham. Dia mengatakan ketidakpastian terkait kebijakan tarif Trump, tekanan geopolitik, serta data tenaga kerja dan inflasi AS dapat berdampak ke imbal hasil US Treasury. Sementara, The Fed cenderung mengambil posisi wait and see.

Sedangkan dari dalam negeri, BI menurunkan proyeksi PDB menjadi 4,6-5,4% seiring pelemahan permintaan domestik pada awal tahun dan penyerapan fiskal belum optimal.

"Hal ini membuat kebutuhan pembiayaan negara (penerbitan SUN) cenderung lebih rendah dari perkiraan awal. Keseimbangan antara pertumbuhan dan inflasi dalam negeri mendukung peluang pelonggaran suku bunga lebih lanjut, yang dapat menopang pasar obligasi," kata Liew.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Nicken Tari
Editor : Dwi Nicken Tari
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper