Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IHSG Ambles di Awal Juni, Profit Taking & Perang Tarif Jadi Pemicu

IHSG terkoreksi tajam ada perdagangan awal Juni 2025. Profit taking hingga ketidakpastian perang tarif disebut jadi pemicunya.
Investor mengamati layar yang menampilkan pergerakan harga saham di Jakarta, Rabu (Rabu (7/5/2025). Bisnis/Arief Hermawan P
Investor mengamati layar yang menampilkan pergerakan harga saham di Jakarta, Rabu (Rabu (7/5/2025). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Pasar saham Indonesia mencatatkan kinerja jeblok pada awal Juni 2025. Terdapat sejumlah faktor penyebab jebloknya pasar saham, di antaranya aksi profit taking hingga ketidakpastian perang tarif.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup jeblok 1,54% atau 110,75 ke level 7.065,07 pada perdagangan awal bulan ini, Senin (2/6/2025).

IHSG juga sempat mengalami koreksi tajam pada sesi pertama perdagangan hari pertama Juni 2025, turun 1,70% dan menjadi penurunan terdalam setidaknya sejak 8 Mei 2025 lalu. 

Indeks pun kembali ke zona merah, turun 0,21% sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) atau sejak perdagangan perdana 2025.

Deretan saham dengan nilai transaksi tinggi mencatatkan pelemahan harga pada perdagangan hari ini. Saham bank jumbo seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) misalnya jeblok 3,19%. Harga saham PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) pun turun 4,25%.

Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) melemah 5,62% dan saham PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) melemah 2,67%.

Kemudian, dana asing keluar lagi dari pasar saham Indonesia. Tercatat, nilai jual bersih atau net sell asing di pasar saham mencapai Rp2,8 triliun pada hari ini. Kemudian, net sell asing di pasar saham mencapai Rp47,99 triliun sepanjang 2025 berjalan.

Equity Research Analyst Panin Sekuritas Felix Darmawan mengatakan IHSG terkoreksi cukup dalam pada perdagangan hari ini didorong sejumlah faktor. Salah satu faktor adalah aksi profit taking.

"Setelah reli 6% sepanjang Mei 2025, dan menjadi kenaikan bulanan tertinggi sejak 2009, pasar mulai jenuh beli. Investor memanfaatkan momentum untuk merealisasikan keuntungan," kata Felix kepada Bisnis pada Senin (2/6/2025).

Faktor lainnya adalah ketidakpastian kebijakan tarif AS. Menurutnya, putusan Pengadilan Perdagangan AS yang membatalkan sebagian besar tarif era Presiden Donald Trump sempat disambut positif. Namun, pengadilan banding membatalkan keputusan tersebut, memunculkan ketidakpastian baru. 

Terdapat pula sentimen eskalasi geopolitik di mana ketegangan antara Rusia dan Ukraina kembali memanas dan meningkatkan kekhawatiran investor terhadap stabilitas global.

Dari domestik, investor menanti rilis data inflasi dan neraca perdagangan Indonesia. Kekhawatiran terhadap potensi deflasi dan pelemahan surplus perdagangan menambah tekanan pada pasar.

"Proyeksi pasar bulan ini dalam jangka pendek, IHSG diperkirakan akan bergerak dalam kisaran 7.000–7.150. Tekanan jual masih mungkin berlanjut, terutama jika data ekonomi tidak sesuai ekspektasi," kata Felix.

Namun, jika Bank Indonesia (BI) memberikan sinyal pelonggaran kebijakan moneter kembali, peluang IHSG untuk menguat masih terbuka.

Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata mengatakan penurunan indeks hari ini didorong sentimen eksternal, terutama adanya ketegangan Rusia dan Ukraina. Kondisi tersebut membuag investor panik dan pindah ke aset aman seperti emas dan obligasi AS.

Selain itu rilis data indeks PMI per Mei ada di bawah ekspektasi. Begitu juga trade balance yang jauh di bawah ekspektasi meskipun mengalami kenaikan.

Selanjutnya, dari inflasi per Mei yang mengalami penurunan, bahkan di bawah ekspektasi yang bisa mengindikasikan sinyal tingkat konsumsi sedang mengalami kelesuan.

"Namun, Juni 2025 membawa momentum positif yang cukup kuat untuk pasar saham Indonesia, dari sisi stimulus fiskal, stabilitas moneter, hingga penguatan rupiah," kata Liza.

Apabila ditambah sentimen sikap dovish dari The Fed, peluang IHSG menembus 7.300 cukup terbuka dengan arus dana asing yang bisa kembali deras.

"Namun, kehati-hatian tetap diperlukan terhadap potensi gejolak global dan siklus ketidakpastian suku bunga eksternal. Rotasi sektor akan mengarah pada konsumsi, keuangan, dan sektor-sektor berbasis mobilitas masyarakat," ujar Liza.

Community dan Equity Analyst Lead PT IndoPremier Sekuritas, Angga Septianus mengatakan pergerakan bursa saham di Asia termasuk Indonesia memang sedang jatuh bersamaan dengan aksi saling tuduh antara AS-China dalam pelanggaran kesepakatan gencatan tarif.

"Kekhawatiran perselisihan terkait kesepakatan tarif yang kembali meningkat antara AS dan China menjadi penekan indeks," kata Angga kepada Bisnis pada Senin (2/6/2025).

Selain itu PMI Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P Global tercatat di level 47,4 pada Mei 2025. Level tersebut naik dari PMI Manufaktur Indonesia di April 2025 yang sebesar 46,7 namun masih dalam fase terkontraksi.

Terjadi pula deflasi pada Mei 2025 seiring normalisasi harga bahan makanan atau minuman pasca dua bulan naik menyusul momentum bulan puasa dan lebaran.

_______

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ibad Durrohman
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper