Menurutnya, diversifikasi portofolio untuk mengurangi risiko dan alokasi aset yang sesuai dengan profil risiko masing-masing investor bisa menjadi langkah yang perlu diperhatikan.
Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan di pasar saham Indonesia, fenomena "Sell in May and Go Away" tidak serta merta terjadi. Secara historis, indeks harga saham gabungan (IHSG) malah sempat bullish pada Mei.
"Jadi kalau adagium 'Sell in May' pada tahun ini, lebih baik investor mencermati ragam perkembangan ke depan," kata Nafan.
Secara umum, menurut Nafan, terkait fenomena "Sell in May and Go Away" sebaiknya harus disertai dengan adanya faktor katalis atau sentimen.
Pada Mei 2025, pasar saham Indonesia masih diproyeksikan kondusif, baik domestik dan global.
Sentimen yang menyertai yakni terkait dengan kebijakan tarif impor AS. Kebijakan moneter The Fed juga akan memengaruhi pasar. Dari dalam negeri, pasar akan tertuju pada dinamika perilisan kinerja produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Baca Juga
Adapun, menjelang Mei 2025, IHSG masih lesu. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG memang menguat 0,26% ke level 6.766,79 pada perdagangan akhir bulan kemarin, Rabu (30/4/2025).
Namun, IHSG masih di zona merah, turun 4,42% sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd) atau sejak perdagangan perdana 2025.
IHSG juga sempat terpuruk pada awal bulan lalu (8/4/2025), jeblok 7,9% menuju posisi 5.996,1. HSG bahkan sempat anjlok 9,19% ke level 5.912,06 setelah pembukaan kembali pasca libur Lebaran. BEI pun mengumumkan pembekuan sementara perdagangan saham atau trading halt.
Di sisi lain, pasar saham Indonesia masih mencatat larinya dana asing. Tercatat, nilai jual bersih atau net sell asing di pasar saham Indonesia mencapai asing sebesar Rp50,7 triliun sepanjang 2025.