Bisnis.com, JAKARTA - Harga emas bergerak naik seiring dengan rilis data inflasi AS yang lebih rendah dibandingkan ekspektasi. Harga batu bara juga terpantau menguat, sedangkan crude palm oil (CPO) mengalami penurunan tipis.
Mengutip Reuters pada Rabu (15/1/2025), harga emas di pasar spot naik 0,3% menjadi US$2.671,27 per troy ounce pada. Sementara itu, harga emas berjangka AS juga naik 0,1% pada level US$2.682,30.
Data menunjukkan Indeks Harga Produsen (PPI) AS naik 3,3% secara year on year (yoy) pada Desember 2024. Catatan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan 3,4% yang diproyeksikan oleh para ekonom yang disurvei oleh Reuters.
"Data PPI yang lebih rendah membuat indeks dolar AS terpuruk dan hal itu membantu pasar logam mulia yang sedang naik daun, karena inflasi yang lebih rendah berarti Fed mungkin dapat menurunkan suku bunga lebih cepat," kata Jim Wyckoff, analis pasar senior di Kitco Metals.
Adapun, indeks dolar AS terpantau turun 0,6%, membuat emas lebih murah bagi pembeli luar negeri.
Investor kini menunggu data Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi AS pada Rabu untuk menganalisis jalur kebijakan Fed. Sebuah jajak pendapat Reuters memperkirakan kenaikan tahunan sebesar 2,9%, dibandingkan dengan 2,7% pada bulan November, dan kenaikan bulanan sebesar 0,3%.
Baca Juga
Harga Batu Bara
Harga batu bara kontrak Januari 2025 di ICE Newcastle menguat 0,79% ke level US$115,40 per metrik ton. Sementara itu, harga batu bara kontrak Februari 2025 menguat 0,69% ke level US$116,30 per metrik ton.
Mengutip Reuters, impor batu bara China naik 14,4% pada 2024 ke rekor tertinggi seiring dengan harga batu bara internasional yang lebih rendah mendorong pembeli untuk mengganti impor dengan pasokan domestik.
Data Administrasi Umum Bea Cukai China mencatat, impor batu bara untuk 2024 berjumlah 542,7 juta metrik ton , naik dari 474,42 juta ton pada tahun 2023.
"Peningkatan impor batu bara China pada tahun 2024 didukung oleh penurunan harga batu bara yang diangkut melalui laut yang mendorong arbitrase impor terkait dengan pasokan domestik Tiongkok untuk berbagai jenis batu bara," kata Toby Hassall, analis batu bara utama untuk LSEG, seraya menambahkan bahwa pertumbuhan produksi batu bara domestik, sekitar 1%, telah melambat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Impor pada Desember 2025 naik 11% menjadi 52,35 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya, data menunjukkan, turun dari rekor tertinggi pada bulan November sebesar 54,98 juta ton.
Untuk tahun 2025, kelompok industri Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batubara China memperkirakan impor akan turun menjadi 525 juta ton, kata analisnya dalam seminar daring minggu lalu.
Hassall memperkirakan bahwa konsumsi batu bara China tumbuh sekitar 1% pada tahun 2024, sejalan dengan pertumbuhan pembangkit listrik tenaga batu bara meskipun konsumsi lebih lesu di sektor semen dan baja, yang telah terpukul oleh krisis real estat China.
Harga CPO
Sementara itu, harga komoditas minyak kelapa sawit atau CPO berjangka pada penutupan perdagangan Selasa (14/1/2025) kontrak Januari 2025 turun 30 poin ke 4.638 ringgit per ton di Bursa derivatif Malaysia. Kemudian, kontrak Februari 2025 tercatat stagnant pada level 4.578 ringgit per ton.
Mengutip Kantor Berita Xinhua, harga CPO diprediksi akan tetap tinggi dalam jangka pendek pada 2025 karena produksi yang lebih lambat.
Laporan MIDF Research menjelaskan, dengan pemulihan produksi Malaysia yang diharapkan lebih lambat di tengah tingkat stok yang rendah, rata-rata harga CPO diprediksi akan stabil pada kisaran 4.815 ringgit (1.067 dolar AS) per ton.
"Sangat penting untuk dicatat bahwa pertumbuhan produksi minyak sawit yang lebih lambat di Malaysia dan Indonesia dan potensi larangan ekspor minyak sawit karena peristiwa La Nina dan penebangan pohon biologis, dapat menimbulkan risiko terhadap ketersediaan pasokan minyak sawit pada kuartal pertama hingga kuartal kedua tahun 2025," demikian kutipan laporan tersebut.
Kondisi tersebut akan berimbas positif bagi harga CPO. MIDF menilai, harga CPO berpotensi naik dari kisaran 4.500 ringgit per ton menjadi hampir 5.000 ringgit per ton pada kuartal III/2025.
Ke depannya, MIDF berpendapat bahwa pemulihan produksi yang lebih lambat dari perkiraan akan terus berlanjut, dengan produksi lokal diproyeksikan tumbuh hanya 1% secara year on year menjadi 19,5 juta ton pada 2025.