Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Minyak Dunia Anjlok Hampir 8% selama Sepekan, Imbas Ekonomi China Lesu?

Harga minyak dunia bergerak turun sepekan terakhir, apa alasannya?
Siluet pekerja PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) beraktivitas di kawasan Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap. Bisnis/Nurul Hidayat
Siluet pekerja PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) beraktivitas di kawasan Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak berpotensi mencatat pelemahan mingguan terdalam dalam hampir satu tahun di tengah kekhawatiran yang terus-menerus mengenai lemahnya permintaan dan melimpahnya pasokan, bahkan ketika OPEC+ menunda rencana peningkatan produksi selama dua bulan.

Mengutip Bloomberg pada Jumat (6/9/2024), harga minyak mentah Brent naik tipis 0,1% pada level US$72,76 per barel, tetapi harga Brent telah turun hampir 8% sepanjang minggu ini. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) terpantau menguat 0,14% pada level US$69,25 per barel. 

Harga minyak dipengaruhi oleh pernyataan OPEC yang tidak akan meningkatkan produksi sebesar 180.000 barel per hari pada bulan Oktober dan November. Namun, rencana OPEC untuk meningkatkan produksi sebesar 2,2 juta barel per hari selama setahun masih tetap berjalan.

Harga minyak cenderung bergerak melemah sejak awal Juli karena kekhawatiran permintaan dari konsumen utama, khususnya China, dan tanda-tanda meningkatnya pasokan dari luar Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). 

Sementara itu, timespread juga menunjukkan pelemahan, dengan struktur bullish backwardation yang menyempit tajam, meskipun gangguan pasokan dari Libya baru-baru ini telah mengimbangi sebagian penurunan harga.

“Kami melihat penundaan OPEC+, geopolitik yang sedang berlangsung, dan posisi keuangan memberikan dukungan harga pada US$70 hingga US$72 untuk minyak jenis Brent,” jelas laporan analis Citigroup Inc. termasuk Eric Lee.

Selain itu, Citigroup juga mengatakan pihaknya melihat pergerakan harga minyak akan turun ke kisaran US$60 pada tahun 2025 seiring dengan munculnya surplus pasar yang cukup besar.

Selain itu, tanda-tanda buruknya permintaan pada beberapa produk olahan minyak juga telah muncul. Pasar solar di China dan India – yang menyumbang sebagian besar permintaan di Asia – menunjukkan tanda-tanda perlambatan, dengan margin penyulingan yang menurun. 

Hal ini serupa dengan tren di Eropa, di mana harga acuan berjangka mencapai titik terendah sejak pertengahan tahun 2023 pada minggu lalu.

Sementara itu di AS, data resmi menunjukkan persediaan minyak mentah komersial AS turun hampir 7 juta barel pada pekan lalu ke level terendah dalam setahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper