Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak melemah seiring dengan sikap pelaku pasar yang menanti laporan persediaan dari Badan Informasi Energi AS (EIA) dan mulai mengantisipasi penurunan permintaan menjelang berakhirnya musim berkendara musim panas pada awal September.
Melansir Reuters pada Rabu (13/8/2025), harga minyak berjangka jenis Brent turun 0,77% atau 51 sen di posisi US$66,12 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) AS melemah 1,24% atau 79 sen menjadi US$63,17 per barel.
“Ini benar-benar faktor musiman. Kami tidak mendapat dorongan dari pasar saham, sementara laporan inflasi positif dan mengarah pada pemangkasan suku bunga," ujar John Kilduff, Partner Again Capital.
Data inflasi AS pada Juli menunjukkan kenaikan harga konsumen, dengan lonjakan biaya impor akibat tarif mendorong kenaikan terbesar dalam enam bulan untuk salah satu ukuran inflasi inti.
Kilduff menambahkan, permintaan bahan bakar diesel—yang menjadi pendorong permintaan minyak—mulai menunjukkan pelemahan. Laporan persediaan minyak dari American Petroleum Institute (API) pada Selasa dan EIA pada Rabu diperkirakan memberi sinyal tren penurunan permintaan.
Prospek yang dirilis OPEC dan EIA menunjukkan peningkatan produksi minyak tahun ini, namun keduanya memproyeksikan output minyak AS akan turun pada 2026, sementara kawasan lain di dunia justru meningkatkan produksi minyak dan gas alam.
Baca Juga
Laporan bulanan OPEC pada Selasa memperkirakan permintaan minyak global naik 1,38 juta barel per hari (bph) pada 2026, atau 100.000 bph lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Proyeksi permintaan 2025 tidak mengalami perubahan.
EIA memperkirakan produksi minyak mentah AS akan mencapai rekor 13,41 juta bph pada 2025 berkat peningkatan produktivitas sumur, namun harga minyak yang lebih rendah akan menekan produksi pada 2026 menjadi 13,28 juta bph—penurunan pertama sejak 2021 bagi produsen terbesar dunia tersebut.
EIA juga memangkas proyeksi harga rata-rata Brent pada 2026 menjadi US$51 per barel dari perkiraan sebelumnya US$58 per barel, setelah OPEC dan sekutunya memutuskan mempercepat peningkatan produksi.
Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump pekan ini memperpanjang gencatan tarif dengan China hingga 10 November, menghindarkan bea masuk tiga digit atas barang-barang China menjelang musim belanja akhir tahun yang krusial bagi ritel AS.
Sentimen pasar juga dipengaruhi rencana pertemuan Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska pada Jumat (15/8/2025) untuk membahas upaya mengakhiri perang Rusia di Ukraina.
Commerzbank dalam risetnya menyebut, jika pertemuan Trump-Putin membawa gencatan senjata atau bahkan kesepakatan damai lebih dekat, Trump bisa saja menangguhkan tarif sekunder terhadap India yang diumumkan pekan lalu sebelum berlaku dalam dua pekan.
“Namun, jika tidak, sanksi yang lebih ketat bisa dikenakan kepada pembeli minyak Rusia lainnya, seperti China," jelasnya.