Bisnis.com, JAKARTA — Deretan saham di indeks saham royal tebar dividen yakni IDX High Dividend 20 telah menebar dividennya kepada pemegang saham. Namun, gerak saham indeks lesu.
Semua konstituen di IDX High Dividend 20 memang telah menebar dividen mereka kepada pemegang saham. Sejumlah konstituen bahkan mencatatkan peningkatan nilai dividennya tahun ini.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), misalnya, memutuskan tebaran dividen Rp466,18 per saham pada tahun buku 2024, naik dari Rp353,96 per saham pada tahun buku 2023.
PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) membagikan dividen tunai sebesar Rp300 per saham untuk tahun buku 2024, naik dari Rp270 per saham pada tahun buku 2023.
PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP) pun menebar dividen Rp250 per saham untuk tahun buku 2024. Tebaran dividen ICBP naik dibandingkan dengan tahun buku sebelumnya Rp200 per saham.
Lalu, PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk. (ACES) memutuskan tebaran dividen Rp33,87 per saham untuk tahun buku 2024, naik dari Rp33,50 per saham pada tahun buku 2023.
Akan tetapi, kinerja indeks IDX High Dividend 20 sedang lesu. Berdasarkan data Bloomberg, IDX High Dividend 20 mencatatkan pelemahan 8,77% sepanjang tahun berjalan (year to date/YtD) atau sejak perdagangan perdana 2025 hingga hari ini, Selasa (22/7/2025) di level 467,07.
Sejumlah konstituen indeks pun mencatatkan kinerja harga saham yang jeblok. Harga saham BMRI misalnya turun 18,25% ytd dan BBCA turun 13,18% ytd.
Lalu, harga saham PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO) turun 19,14% YtD, PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG) turun 14,61%, dan PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) turun 12%.
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), David Kurniawan menilai bahwa lesunya indeks saham penebar dividen royal itu karena efek musiman pasca dividen. Saham-saham berdividen tinggi cenderung naik jelang cum date, kemudian terkoreksi setelah ex-date karena investor jangka pendek keluar setelah mendapatkan hak dividen.
Selain itu, lesunya IDX High Dividend 20 terjadi karena rotasi portofolio investor ke saham growth atau sektoral.
"Pada 2025 pasar kembali fokus pada saham-saham dengan potensi pertumbuhan tinggi seperti teknologi atau sektor berbasis transisi energi. Ini menyebabkan sektor yang banyak menyumbang dividen seperti tambang, telekomunikasi, dan BUMN ditinggalkan," kata David kepada Bisnis pada Selasa (22/7/2025).
Lalu, lesunya IDX High Dividend 20 terjadi karena kinerja fundamental konstituen yang melemah. Sejumlah konstituen seperti PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) dan PTBA mengalami koreksi karena stagnasi laba, turunnya harga komoditas, atau faktor internal korporasi.
Namun, saham-saham di IDX High Dividend20 dinilai masih menarik bagi investor yang berorientasi pada dividen.
"Investor konservatif dan institusi seperti dana pensiun tetap memburu saham-saham dengan payout ratio tinggi untuk cashflow rutin, terlebih bila emiten memiliki track record dividen stabil seperti UNVR, BBNI [PT Bank Negara Indonesia Tbk.] , atau PGAS [PT Perusahaan Gas Negara Tbk.]," ujar David.
Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Abdul Azis Setyo W. juga menilai lesunya kinerja IDX High Dividend 20 mencerminkan efek post dividend yang signifikan. Setelah puncak pembagian dividen pada kuartal II/2025, investor cenderung melakukan aksi ambil untung atau profit taking, terutama karena banyak saham di indeks ini mengalami kenaikan harga menjelang cum date.
"Ini menunjukkan bahwa yield tinggi tidak selalu menjamin performa harga yang kuat dalam jangka pendek," ujar Azis kepada Bisnis pada Selasa (22/7/2025).
Selain itu, saham-saham dengan dividen jumbo cenderung berasal dari sektor-sektor seperti perbankan, infrastruktur, atau energi, yang saat ini sedang menghadapi tekanan dari perlambatan ekonomi global, sentimen suku bunga tinggi yang bertahan lebih lama, dan ketidakpastian geopolitik. Kondisi tersebut memperkuat tekanan jual, meskipun secara fundamental mereka tetap sehat dan rutin membagikan dividen.
Faktor lainnya adalah minat pasar yang cenderung bergeser ke saham growth dan thematic play. Dalam kondisi pasar yang lebih agresif, investor ritellebih memilih saham yang menjanjikan capital gain cepat seperti teknologi dan infrastruktur digital.
"Meski secara jangka pendek daya tariknya melemah, saham-saham berdividen tinggi masih tetap menarik bagi investor jangka panjang, khususnya yang mencari pendapatan pasif dan stabilitas portofolio. Yield dividen yang tinggi bisa menjadi bantalan saat pasar bergejolak, dan dalam kondisi suku bunga mulai turun ke depan," ujar Azis.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.