Bisnis.com, JAKARTA – Harga logam industri bijih besi dan baja melonjak ke level tertinggi dalam empat bulan. Kenaikan ini ditopang oleh rencana pembangunan bendungan raksasa di Tibet oleh China yang akan mengerek permintaan.
Berdasarkan data Bloomberg, harga bijih besi melonjak 2,8% menjadi US$103,60 per ton pada pukul 10:45 waktu Singapura.
Sementara harga baja tulangan (rebar) dan hot-rolled coil di Shanghai naik lebih dari 2% ke level tertinggi sejak Maret. Di Bursa London Merchantille Exchange (LME), harga tembaga turut menguat 0,5% menjadi US$9.830 per ton. Begitu pula seng dan aluminium juga mengalami kenaikan.
Baca Juga : Arah Harga Emas Jelang Rapat FOMC The Fed Juli 2025, Gubernur Waller Dorong Suku Bunga Acuan Turun |
---|
Adapun, harga bijih besi sebagai bahan baku utama pembuatan baja sempat naik hingga 2,9% di Bursa Singapura, mendekati US$104 per ton. Penguatan itu melanjutkan kenaikan selama empat pekan berturut-turut.
Kenaikan harga logam industri ini terdorong oleh PM China Li Qiang yang sudah memulai pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga air senilai 1,2 triliun yuan atau setara US$167 miliar di Sungai Yarlung Tsangpo pada akhir pekan lalu.
Proyek yang akan terdiri dari lima bendungan bertingkat ini diperkirakan akan memberikan dorongan ekonomi yang positif terhadap permintaan bahan konstruksi seperti logam, semen, dan kaca.
Harga bijih besi kini berada di jalur untuk mencatat kenaikan bulanan pertama sejak Januari, seiring pemerintah Beijing terus mendorong pengendalian kompetisi berlebihan dan kapasitas berlebih di industri baja.
Hal ini memunculkan harapan bahwa margin keuntungan pabrik dapat membaik dan harga bahan baku akan terdorong naik. Proyek bendungan baru ini juga diperkirakan akan menguntungkan produsen baja, yang tengah menghadapi tekanan dari krisis properti yang berkepanjangan.
Asosiasi Besi dan Baja China (China Iron and Steel Association) pekan lalu mengumumkan bahwa mereka telah menggelar pertemuan dengan para produsen baja utama serta pejabat dari Kementerian Perindustrian China.
Dalam pertemuan itu, para peserta berkomitmen untuk meningkatkan upaya mengendalikan apa yang disebut sebagai "involution" yaitu kondisi persaingan hiperaktif yang merugikan keuntungan industri.
China juga disebut akan mempelajari kemungkinan membentuk sistem baru untuk mengendalikan kelebihan kapasitas, meski belum ada rincian yang diungkapkan.