Bisnis.com, JAKARTA - Harga Bitcoin (BTC) masih cenderung bergerak stabil di kisaran US$103.000 meskipun pasar kripto dilanda ketidakpastian akibat konflik geopolitik yang memanas dan arah suku bunga bank sentral global.
Mengutip data CoinMarketCap pada Sabtu (21/6/2025) pukul 10:00 WIB, BTC diperdagangkan di sekitar level US$103.501 atau Rp1,7 miliar, turun dari rekor tertingginya sebulan lalu. Di samping itu, Ethereum dan altcoin lain mencatat kinerja datar.
Berdasarkan catatan Tokocrypto, investor masih menunggu sinyal dari The Fed mengenai arah kebijakan moneternya ke depan setelah mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25% hingga 4,50%.
Keputusan itu diambil sejalan dengan pandangan Ketua The Fed Jerome Powell yang menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil karena "ketidakpastian prospek ekonomi yang masih tinggi," meski terdapat tren inflasi yang menurun.
Keputusan ini dinilai investor sebagai bentuk kehati-hatian The Fed di tengah risiko global yang meningkat.
Analis Tokocrypto Fyqieh Fachrur menilai harga Bitcoin masih cenderung bergerak stabil meskipun pasar kripto dilanda ketidakpastian.
Menurutnya, pasar kripto saat ini berada dalam fase konsolidasi, sembari menunggu arah baru, baik dari kebijakan The Fed maupun perkembangan geopolitik. Namun, struktur jangka panjangnya masih positif.
"Jika The Fed ke depan hingga Juli menjelang FOMC selanjutnya bisa memberi sinyal dovish, Bitcoin berpotensi kembali menguat menuju US$110.000," ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (21/6/2025).
Berdasarkan data historis, Bitcoin yang kerap disebut sebagai aset berisiko tinggi justru cenderung stabil bahkan menguat dalam masa konflik bersenjata besar.
Dalam 10 tahun terakhir, misalnya, terdapat berbagai peristiwa geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina (2022), konflik Israel-Gaza (2023), hingga eskalasi terbaru Iran vs Israel (2025). Namun, sentimen ketiga konflik tersebut tidak membuat harga Bitcoin jatuh dalam jangka panjang.
"Contohnya, pasca-serangan rudal Israel ke Iran pada 13 Juni 2025, harga BTC sempat turun, namun pulih kembali dalam beberapa hari. Bahkan, perusahaan milik Michael Saylor, Strategy, mengakuisisi 10.001 BTC senilai US$1 miliar pada 16 Juni, menunjukkan keyakinan institusional terhadap prospek jangka panjang aset ini," paparnya.
Fyqieh mengungkapkan konflik geopolitik meningkatkan ekspektasi inflasi global melalui lonjakan belanja fiskal, gangguan rantai pasok, dan kenaikan harga komoditas.
"Dalam jangka panjang, faktor-faktor ini cenderung menguntungkan Bitcoin," ungkap Fyqieh.
Namun, Fyigeh memperingatkan bahwa Bitcoin tetap sensitif terhadap reaksi awal pasar terhadap perang, dengan kemungkinan tekanan jual sesaat setelah konflik pecah.
Konflik internal seperti perang Tigray (2020) atau kudeta Myanmar (2021) tidak berdampak signifikan terhadap harga Bitcoin. Hal ini menunjukkan bahwa dampak terhadap harga lebih ditentukan oleh kedekatan geopolitik dan keterlibatan pasar keuangan global.
Lebih lanjut, seiring meningkatnya adopsi institusional dan kepemilikan Bitcoin oleh entitas besar seperti BlackRock, Coinbase, dan bahkan pemerintah AS, Bitcoin kini semakin terkorelasi dengan pasar tradisional.
Hal ini menjadikan Bitcoin semakin rentan terhadap tekanan pasar global, namun sekaligus memperkuat posisinya sebagai bagian dari sistem keuangan global yang lebih luas. Menurut Fyqieh, hal ini bisa menjadi pertimbangan penting bagi investor.
"Bitcoin tidak lagi berdiri sendiri seperti satu dekade lalu. Faktor makroekonomi dan geopolitik kini punya pengaruh besar terhadap harga. Tapi justru ini yang membuat BTC menjadi instrumen relevan untuk diversifikasi portofolio," jelasnya.
Bitcoin saat ini menghadapi resistance di level US$106.500, dilanjutkan dengan zona US$108.800-US$110.000, dan resistance kritis di US$112.000.
Sementara itu, dukungan terdekat berada di kisaran US$102.000-US$103.000, dengan level psikologis US$100.000 sebagai penopang utama.
Pasar kripto kini menantikan pertemuan The Fed berikutnya serta perkembangan konflik global yang masih terus berlangsung.
"Dengan kapitalisasi pasar kripto global yang tetap bertahan di US$3,25 triliun dan arus masuk ETF yang positif, peluang pemulihan harga tetap terbuka di tengah gejolak," imbuhnya.