Bisnis.com, JAKARTA - Saham-saham di pasar negara berkembang (emerging market) kompak berguguran dalam penurunan paling dalam sejak krisis keuangan global 2008. Implementasi tarif impor oleh Amerika Serikat dikhawatirkan membawa resesi.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks MSCI berjangka yang mengukur harga saham di masa depan jatuh hingga 7,3% pada Senin (7/4/2025). Koreksi itu merupakan penurunan harian terparah sejak 2008, dengan indeks komposit di China, Hong Kong, Korea Selatan, dan Taiwan seluruhnya anjlok berjamaah.
Fund Manager Aberdeen Investments Xin-Yao Ng mengatakan aksi jual kali ini tidak pilih-pilih dan terjadi di seluruh pasar. Sementara itu, jumlah cash terpantau meningkat.
"Ini adalah aksi jual yang bukan diskriminasi," kata Xin-Yao Ng, dikutip dari Bloomberg pada Senin (7/4/2025).
Adapun, sejumlah ekonom termasuk di Goldman Sachs Group Inc. melihat ada potensi terjadi resesi di negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Apabila terjadi, tentunya akan membawa efek beruntun ke negara-negara lainnya.
Sementara ini, mitra dagang yang paling diincar AS yaitu China mengatakan bakal membalas tarif yang diberlakukan Trump tersebut. Dengan aksi saling balas tarif ini, Bank Sentral China (PBoC) pun melemahkan referensi nilai tukar untuk yuan.
Apabila perang dagang terus meningkatkan spekulasi di pasar keuangan, China disebut bisa saja melakukan devaluasi mata uang yuan secara agresif.
Sementara itu, rupiah menjadi salah satu mata uang yang paling tertekan oleh dolar AS. Pada awal pekan ini rupiah kembali mendekati level Rp17.000 per dolar AS di pasar NDF.