Bisnis.com, JAKARTA — Investasi pada pasar obligasi dinilai memiliki prospek yang lebih cerah dibandingkan dengan pasar saham. Tren inflasi yang melambat dan siklus kenaikan suku bunga yang diperkirakan mencapai puncak pada awal 2023 menjadi katalis pasar obligasi.
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto mengemukakan pasar obligasi Indonesia cenderung memiliki daya tahan kuat pada 2022, terlepas dari tren kenaikan suku bunga agresif. Hal ini tecermin dari pertumbuhan pasar obligasi sebesar 3,5 persen year on year (yoy).
Di 2023, Handy mengatakan pasar obligasi memiliki prospek positif karena tekanan dari risiko inflasi telah bergeser ke potensi perlambatan ekonomi dunia. Dalam hal perekonomian terkontraksi, Handy mengatakan investasi pada obligasi cenderung menunjukkan kinerja positif.
“Kami juga melihat indeks dolar Amerika Serikat telah melewati masa puncaknya. Ini penting karena aliran modal asing akan masuk kembali saat indeks dolar turun. Ini terlihat dalam tiga bulan terakhir ketika asing mulai masuk ke pasar obligasi,” kata Handy, Selasa (10/1/2023).
Handy juga mengatakan bahwa kenaikan inflasi di Indonesia telah melalui masa puncaknya. Hal ini memberi sinyal bahwa kenaikan suku bunga ke depannya akan lebih terkendali ke 5,75 persen sampai 6 persen pada 2023.
Faktor lain yang menjadi angin segar pasar obligasi Tanah Air, lanjut Handy, adalah berlanjutnya konsolidasi fiskal yang bakal mengurangi risiko pasokan surat utang. Likuiditas yang dalam posisi longgar diperkirakan bakal membuat suku bunga deposito tidak akan mengalami kenaikan besar.
Baca Juga
“Selisih antara yield SUN dan deposito masih akan atraktif dan ini akan membuat permintaan dari investor domestik solid,” lanjut Handy.
Mandiri Sekuritas juga melihat bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat menuju kenaikan peringkat kredit utang menjadi BBB+. Model perhitungan yang dilakukan Mandiri Sekuritas dengan mengacu pada variabel ekonomi utama memperlihatkan bahwa probabilitas kenaikan peringkat kredit utang Indonesia berada di atas 70 persen.
Peluang besar ini dapat terjaga selama pertumbuhan ekonomi Indonesia bertahan di atas 5 persen sehingga menambah potensi pemasukan fiskal dan membuat defisit anggaran tetap rendah.
“Dengan argumen bahwa kita berada di jalur menuju BBB+ dan tren ke depan suku bunga akan turun, kami memproyeksikan yield SUN 10 tahun kita dalam dua tahun ke depan mungkin bisa turun ke 6 persen sampai 6,2 persen,” kata Handy.
Jika kondisi inflasi dan suku bunga bunga sesuai ekspektasi, Handy menyatakan potensi return obligasi untuk dua tahun ke depan bisa mencapai 25 persen. Potensi ini lebih besar daripada investasi saham yang cenderung tumbuh terbatas karena perlambatan kenaikan earning per share (EPS).
“Return investasi obligasi bisa mencapai 25 persen dalam dua tahun ke depan yang berasal dari pendapatan bunga dan capital gain-nya. Kalau ternyata IHSG bisa tumbuh di atas itu, tentunya IHSG lebih bagus. Namun jika tidak, obligasi lebih baik,” katanya.
Meski demikian, Handy tetap merekomendasikan agar investor melakukan diversifikasi instrumen investasi demi mengantisipasi skenario terburuk. Dia memberi contoh performa saham pada 2021 dan 2022 yang meningkat pesat setelah sempat anjlok pada 2020 karena sentimen pandemi Covid-19.
“Namun saat ketidakpastian tidak tinggi, obligasi sebenarnya dapat menarik karena kita bisa dapat free cash flow dari kupon dan kita dapat yield sampai jatuh tempo. Artinya prinsipal tidak hilang,” kata dia.