Bisnis.com, JAKARTA — Menyambut 48 tahun diaktifkannya kembali pasar modal Indonesia, tercatat ada tujuh perusahaan yang akan melakukan "uji nyali" penawaran saham perdana ke publik atau initial public offering (IPO).
Berdasarkan data BEI, sampai dengan 8 Agustus 2025 telah tercatat 22 perusahaan yang mencatatkan saham di Bursa dengan dana dihimpun Rp10,39 triliun.
Terbaru, sejumlah perusahaan memang telah melantai di Bursa pada bulan lalu, di antaranya PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), PT Merry Riana Edukasi Tbk (MERI), hingga PT Indokripto Koin Semesta Tbk (COIN).
Sederet emiten baru itu pun mencatatkan kinerja saham yang melejit setelah IPO. Harga saham CDIA misalnya melesat 731,58% sejak IPO pada bulan lalu hingga ditutup di level Rp1.580 per lembar pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (8/8/2025).
Kemudian, harga saham MERI melejit 117,19% sejak melantai di Bursa ditutup di level Rp278 pada perdagangan terakhirnya. Bahkan, harga saham COIN melompat 1.500% sejak melantai di Bursa ditutup di level Rp1.600 per lembar.
Di sisi lain, masih ada perusahaan yang saat ini masuk ke dalam antrean IPO untuk melantai di Bursa.
Baca Juga
"Hingga saat ini, terdapat tujuh perusahaan dalam pipeline pencatatan saham BEI," tulis Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna pada Jumat (8/8/2025).
Dari tujuh perusahaan yang masuk ke dalam pipeline IPO, tiga perusahaan berasal dari kategori berskala besar atau memiliki aset di atas Rp250 miliar. Sisanya, empat perusahaan lainnya berskala menengah dengan aset antara Rp50 miliar sampai dengan Rp250 miliar.
Secara rinci, dua perusahaan dalam pipeline IPO berasal dari sektor basic materials, dua perusahaan dari sektor industrials, satu perusahaan dari sektor financials, satu perusahaan dari sektor technology, serta satu perusahaan lainnya dari sektor transportasi dan logistik.
Akan tetapi, paruh kedua 2025 ini menjadi tantangan yang berat bagi calon penghuni lantai bursa.
EY Indonesia Financial Accounting Advisory Services Leader Joe Lai menilai perusahaan-perusahaan yang mau IPO harus siap menghadapi kondisi saat ini dengan pandangan ke masa depan yang strategis.
"Kami mengantisipasi bahwa investor dan calon kandidat IPO akan terus mengambil pendekatan yang lebih hati-hati karena adanya ketidakpastian kapan volatilitas saat ini akan mereda," katanya dalam keterangan tertulis pada beberapa waktu lalu.
Kehati-hatian itu menurutnya bukan dilihat sebagai penghalang, melainkan sebagai peluang dalam pendekatan IPO.
Senada, Senior Equity Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas juga menilai tren jumlah perusahaan yang melantai di Bursa pada tahun ini memang turun dibandingkan tahun lalu. Namun, minat investor dalam turut serta memanfaatkan peluang IPO tetap tinggi.
"Investor masih tertarik sama IPO, tapi makin selektif, hanya masuk kalau valuasinya masuk akal dan prospeknya jelas. Walau jumlah IPO-nya berkurang, total dana yang berhasil dihimpun justru naik, karena banyak IPO tahun ini datang dari emiten-emiten besar," kata Sukarno.
Anggapan perusahaan mercusuar lebih berkesempatan besar melakukan IPO bukan isapan jempol belaka. Perusahaan skala menengah masih membutuhkan sejumlah dukungan dalam mengakses pembiayaan melalui mekanisme IPO.
Pengamat pasar modal, Dipo Satria Ramli, mengatakan bahwa salah satu hambatan perusahaan menengah dalam melakukan IPO adalah persoalan biaya yang disebut mencapai kisaran Rp3 miliar hingga Rp5 miliar.
Selain itu, persyaratan administratif juga membuat perusahaan menengah cukup kesulitan untuk melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Perusahaan menengah sering kali terhalang oleh biaya yang sangat besar dan persyaratan yang ketat untuk memenuhi standar yang ada di papan utama pasar modal,” ujar Dipo saat ditemui di Jakarta, baru-baru ini.
Menurutnya, peraturan yang berlaku seringkali mengacu pada standar papan utama yang ditujukan bagi perusahaan dengan kapitalisasi pasar (market cap) besar. Hal ini dinilai berbeda dengan karakteristik perusahaan menengah, yang memerlukan kelenturan regulasi untuk bisa masuk ke pasar modal.
Dalam kesempatan yang sama, Budi Frensidy, praktisi pasar modal dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menilai perusahaan menengah juga membutuhkan dukungan dari investor institusi.
Pasalnya, meskipun secara mayoritas pasar modal Indonesia didominasi oleh ritel, investor besar tetap berperan dalam menentukan arah pasar.
“Oleh karena itu, penting untuk mendukung perusahaan-perusahaan menengah agar dapat menggandeng konglomerat besar yang memiliki komitmen kuat untuk menjaga harga saham,” pungkasnya.
Budi juga menyatakan bahwa komitmen dari pemegang saham pengendali (PSP) berperan penting dalam menjaga stabilitas harga saham, sekaligus memberikan kepercayaan lebih bagi investor ritel dalam berinvestasi.