Bisnis.com, JAKARTA – Di tengah tantangan tarif global dan pelemahan daya beli masyarakat, pasar obligasi dinilai memberikan prospek yang lebih positif di sepanjang 2025 dibandingkan pasar saham.
Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Rully Arya menerangkan, kendati posisi indeks harga saham gabungan (IHSG) telah berada di level yang positif, tetapi masih memiliki kinerja di bawah indeks luar negeri lainnya.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia pada Senin (14/7/2025), IHSG terpantau telah mengalami penguatan 0,24% sepanjang tahun berjalan 2025 (year to date/ YtD). Dibandingkan negara di Asean, IHSG masih berada di bawah penguatan indeks Vietnam sebesar 15,08% YtD dan indeks Singapura sebesar 8,49% YtD.
Selain itu, secara fundamental, sejumlah permasalahan ekonomi menghantui kinerja IHSG sepanjang 2025. Belum lagi, keputusan tarif Trump terhadap Indonesia juga memicu penguatan IHSG lebih bersifat spekulatif.
Terlebih lagi, pada pekan lalu, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp1,87 triliun. Meskipun lebih rendah dibandingkan Rp2,78 triliun pada pekan sebelumnya, tetapi sepanjang tahun berjalan, investor asing telah mencatatkan net sell sebesar Rp58,99 triliun.
“Apalagi kalau kita lihat Donald Trump sudah mulai ingin menyentuh, mempengaruhi kebijakan moneter. Itu yang menyebabkan pasar saat ini cenderung sangat volatile, dan akan berlanjut sampai akhir tahun ini,” katanya saat ditemui di Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Baca Juga
Di tengah volatilitas pasar saham, kondisi pasar obligasi dinilai bakal lebih dipengaruhi dengan ekspektasi pemangkasan suku bunga, baik oleh Bank Indonesia (BI) atau The Fed. Terhadap suku bunga BI, Rully memprediksi pemangkasan masih akan dilakukan sebanyak dua kali pada sisa tahun 2025. Hal itu yang menurutnya bakal memberikan dampak positif terhadap pasar obligasi.
Selain itu, penguatan rupiah terhadap dolar AS juga disebut menjadi sentimen positif lainnya bagi pasar obligasi. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah telah menyentuh level Rp16.274 per dolar AS. Meskipun melemah secara harian, tetapi level tersebut dinilai sudah cukup mampu untuk memberikan sentimen positif bagi pasar obligasi.
Selain itu, pelemahan dolar AS sekitar 8,3% sepanjang tahun berjalan juga menjadi perhatian investor. Dengan depresiasi greenback, pelaku pasar biasanya mencari obligasi dengan mata uang lain yang lebih menarik.
“Jadi rupiah memang agak lagging, tapi overall sebenarnya Rp16.200–Rp16.300 itu masih baik dan impact-nya juga sebenarnya harusnya cukup positif di market obligasi,” lanjut Rully.
Sebelumnya, data Bloomberg juga menunjukkan imbal hasil obligasi pasar berkembang telah menurun selama setahun terakhir, sementara imbal hasil di pasar negara maju meningkat.
Selanjutnya, Credit default swaps (CDS) pada negara-negara Asia berkembang ikut turun jauh lebih besar dibandingkan CDS negara maju sejak Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif pada April.
Analis Goldman Sachs Group Inc. Kenneth Ho mengatakan peringkat kredit negara untuk ekonomi besar di Asia tampak tetap tangguh dengan cadangan devisa yang kuat, ketergantungan yang terbatas pada utang luar negeri, dan neraca transaksi berjalan yang sehat.
Dari pantauan Bloomberg, negara-negara yang menikmati aliran dana global sekitar US$34 miliar di pasar obligasinya termasuk Thailand, Indonesia, Malaysia, India, dan Korea Selatan.
“Jadi memang outflow di pasar saham, masih bisa ditahan dengan inflow di pasar obligasi. Kami lihat, secara year to date, asing itu lebih banyak masuk di [obligasi] jangka panjang, yang mungkin 5–10 tahun dan lebih dari 10 tahun,” katanya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.