Bisnis.com, JAKARTA — Penerbitan surat utang negara ritel kian diminati oleh investor, hingga mencatatkan rekor penjualan pada awal 2025. Bagaimana kemudian prospeknya pada tahun ini?
Terbaru, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan RI telah menutup penawaran Sukuk Ritel Seri SR022.
Mengacu data salah satu mitra distribusi PT Bareksa Marketplace Indonesia, permintaan SR022 itu terbilang tinggi. Tercatat, pemerintah beberapa kali menambah kuota nasional pemesanan dari awalnya Rp20 triliun, hingga menjadi Rp28 triliun saat penutupan.
DJPPR telah menetapkan bahwa kupon untuk kedua seri SR022 yakni sebesar 6,45% untuk tenor 3 tahun dan 6,55% untuk tenor 5 tahun. Adapun, SR022T3 akan jatuh tempo pada 10 Juni 2028, sedangkan SR022T5 akan jatuh tempo pada 10 Juni 2030.
Sebelumnya, Obligasi Negara Ritel (ORI) seri ORI027 juga telah menembus rekor penjualan surat berharga negara (SBN) ritel tertinggi sepanjang sejarah. Penjualan ORI027 ini digandrungi hingga mencetak pemesanan Rp37,42 triliun pada penutupan.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan memang instrumen SBN ritel sedang tumbuh seiring dengan pendalaman pasar yang berlanjut.
Baca Juga
"Kami lihat hampir setiap SBN ritel minat atau interest investor tinggi. Minat masyarakat cukup baik di tengah ketidakpastian suku bunga yang masih tinggi, karena memang setelah perang dagang dan ketegangan di Timur Tengah investor tahan diri," kata Ramdhan kepada Bisnis pada Kamis (19/6/2025).
Pasar obligasi atau pasar utang Tanah Air juga menurutnya mempunyai ketahanan yang baik, di mana yield tergolong stabil. Per April 2025 saat perang dagang berkecamuk, pasar surat utang memang sempat melemah. Akan tetapi, kini seiring meredanya perang dagang AS-China, pasar surat utang menguat kembali.
Ke depan, menurutnya tren permintaan SBN ritel masih prospektif didorong oleh sejumlah faktor.
"Instrumen obligasi masih diminati masyarakat karena mudah bagi masyarakat mendapatkan dan return menarik dibandingkan instrumen sejenis seperti deposito. Kupon lebih tinggi, pajak rendah, dan cara dapatkan lebih mudah," ujar Ramdhan.
Akan tetapi, pasar surat utang menghadapi tantangan salah satunya terkait tren suku bunga acuan. Kebijakan moneter bank sentral memang diproyeksikan melonggar, namun seiring dengan ketidakpastian di pasar seperti konflik di Timur Tengah, kebijakan bank sentral menjadi tidak pasti.
"Ada hambatan-hambatan ke penurunan suku bunga, seperti faktor eksternal di luar perkiraan dan di luar kondisi makro," ujar Ramdhan.