Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja indeks Papan Utama masih cenderung bergerak melemah sepanjang 2025 dipicu oleh strategi rotasi investor di tengah tingginya volatilitas di pasar saham.
Indeks tersebut ditutup melemah ke level 1.881,43 pada perdagangan Senin (16/6/2025). Di level itu, indeks Papan Utama masih terkoreksi 5,13% dari level tertingginya pada 22 Januari 2025 sebesar 1.983,18.
Kinerja Papan Utama underperform terhadap Papan Pengembangan yang melesat 23,81% pada periode Februari—Mei 2025.
Para analis berkomentar, pelemahan indeks Papan Utama terutama disebabkan oleh rotasi sektor yang dilakukan oleh para investor ke Papan Pengembangan. Rotasi itu terjadi sejalan dengan pelemahan IHSG pada pertengahan tahun, yang disebabkan oleh eskalasi perang dagang AS—China.
Retail Equity Analyst Indo Premier Sekuritas (IPOT) Indri Liftiany menilai, rotasi investor dari Papan Utama ke Papan Pengembangan terutama terjadi karena investor tengah memanfaatkan momentum atas volatilitas yang terjadi di pasar modal Indonesia.
”Para pelaku pasar cenderung memindahkan atau mengalihkan dananya ke saham-saham yang ada di Papan Pengembangan untuk memanfaatkan momentum dan volatilitas yang ada sehingga hal tersebut membuat kinerja saham di Papan Pengembangan lebih unggul dibandingkan kinerja di Papan Utama,” katanya saat dihubungi Bisnis, Selasa (17/6/2025).
Tidak hanya itu, atas volatilitas yang terjadi dan ketidakpastian ekonomi akibat perang dagang, aksi sell off oleh investor asing terhadap saham-saham berkapitalisasi jumbo, juga menjadi faktor lainnya pelemahan kinerja indeks Papan Utama.
Berdasarkan data BEI pada 21 April 2025, pasar saham Indonesia mencatatkan nilai jual bersih atau net sell investor asing sebesar Rp686,59 miliar dalam satu hari perdagangan. Alhasil, akumulasi net sell asing sepanjang tahun berjalan (year to date/YtD) di pasar saham Indonesia telah mencapai Rp50,23 triliun.
Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia berpendapat kegagalan indeks tersebut berkinerja moncer salah satunya disebabkan oleh saham-saham Grup Barito yang gagal masuk ke indeks MSCI dan FTSE Russel.
Pada periode Mei 2025 silam, tiga saham dari Grup Barito, seperti PT Barito Renewables Energy Tbk. (BREN), PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk. (CUAN), hingga PT Petrosea Tbk. (PTRO) gagal masuk sebagai penghuni indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI).
Sebelumnya, kegagalan BREN masuk ke indeks bergengsi FTSE pada Juni 2024, sempat membuat IHSG ambles. Maka dari itu, Liza menerangkan, bukan tidak mungkin pelemahan Papan Utama disebabkan oleh kegagalan BREN, CUAN, hingga PTRO masuk MSCI.
Pasalnya, BREN masuk ke dalam 10 saham dengan market cap terbesar dalam indeks Papan Utama. Hal itu berarti, pergerakkan BREN punya pengaruh signifikan terhadap kinerja indeks.
”Main board didominasi oleh Grup Barito. Sejak kejadian batal masuk FTSE Russell dan MSCI, sepertinya grup mereka lay low. Barangkali demi menghindari terjaring suspensi dan FCA,” katanya saat dihubungi Bisnis, Selasa (17/6/2025).
Liza juga menilai bahwa valuasi saham-saham Grup Barito di dalam Papan Utama telah tinggi. Hal itu disebut memberikan peningkatan yang terbatas terhadap daya beli saham.
Selain itu, kinerja loyo sejumlah perusahaan bluechips juga menjadi alasan lain pelemahan kinerja Papan Utama sepanjang 2025. Hal itu tecermin dari kinerja indeks dengan saham terlikuid atau IDX LQ45 yang masih di zona merah, turun 3,02% YtD ke level 801,7.
Sejumlah saham konstituen IDX LQ45 yang memiliki kapitalisasi pasar jumbo mengalami penurunan harga saham. Harga saham bank jumbo seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) misalnya turun 7,75% YtD dan saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) turun 10,96% YtD. Selain itu, harga saham PT Astra International Tbk. (ASII) turun 5,92% YtD dan saham PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO) turun 12,76% YtD.
Hal itu kontras dengan IDX SMC Liquid yang berkinerja mentereng beberapa pekan lalu. IDX SMC Liquid sempat berada di zona hijau di tengah volatilitas pasar dengan kenaikan 0,16% YtD ke level 305,35 per Kamis (5/6/2025).
”Blue chips old school juga punya market cap besar, tapi kinerja perusahaan slowing down, terutama big banks. TLKM dan UNVR kita tahu barely no growth. GOTO juga sudah tidak ada highlight yang menarik, no wonder agak ditinggalkan investor yang mencari value stock,” tambah Liza.
Meski demikian, Kiwoom Sekuritas menaruh sejumlah optimisme terhadap kinerja Papan Utama. Menurutnya, beberapa sentimen yang bakal berpengaruh pada kinerja indeks antara lain konflik geopolitik, keputusan suku bunga, inflasi, hingga harga komoditas.
Dalam risetnya yang berjudul ”Coal Insight: Ending the Bottoming Phase?”, Liza menilai bahwa kondisi bottoming yang dialami sektor komoditas sejak memasuki 2025, berpotensi mengakhiri fasenya saat ini.
"Kami bertaruh, tahun ini adalah titik balik sektor komoditas secara siklus tahunan. Khususnya coal dan juga tambang logam," katanya.
Potensi Cuan Saham Papan Pengembangan
Sementara itu, saham-saham dalam indeks Papan Pengembangan justru berhasil memberikan daya tawar kepada investor dengan menawarkan valuasi yang masih terjangkau. Hal ini dinilai memberikan daya tarik tersendiri bagi investor retail.
Seperti diketahui, Papan Pengembangan dihuni oleh PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA), PT Capital Financial Indonesia Tbk. (CASA), hingga PT Merdeka Battery Materials Tbk. (MBMA). Sepanjang tahun berjalan 2025, kinerja ketiga saham itu moncer.
MBMA, misalnya, tengah dalam fase bullish setelah tertekan pada April lalu. Kemarin, sahamnya telah terparkir di level Rp458 per saham. Sementara itu, saham CASA juga tengah naik 67,26% sejak awal tahun.
Begitu juga TPIA, setelah sempat tertekan pada periode yang sama, kini sahamnya terapresiasi sebesar 32% ke Rp9.900—sedikit di bawah harga tertingginya Rp10.550 sepanjang 2025.
“Development board yang market cap-nya lebih kecil, tapi lebih ada story. Secara valuasi juga belum terlalu mahal. Lebih likuid juga, jadi menarik untuk investor atau trader retail,” kata Liza.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.