Bisnis.com, JAKARTA — Pasar minyak global diprediksi menghadapi tekanan baru sepanjang tahun ini hingga 2026, seiring melambatnya permintaan dan meningkatnya pasokan dari negara-negara produsen utama.
Merujuk laporan terbaru International Energy Agency (IEA) tentang Pasar Minyak Global 2025, pertumbuhan permintaan minyak global akan melambat signifikan mulai kuartal II/2025, sementara produksi justru terus bertambah, memicu potensi kelebihan suplai.
"Permintaan diperkirakan hanya tumbuh sebesar 650.000 barel per hari (bopd) pada kuartal II/2025, jauh melambat dibanding kuartal pertama yang tumbuh 990.000 bopd," tulis ulasan laporan IEA mengenai Pasar Minyak Global 2025, dikutip dari laman resmi, Minggu (18/5/2025).
Secara rata-rata, permintaan diproyeksikan hanya meningkat 740.000 bopd sepanjang 2025 dan 760.000 bopd pada 2026. Pelemahan ini disebut sebagai dampak dari tekanan ekonomi global serta peningkatan adopsi kendaraan listrik di berbagai negara.
Meski permintaan melambat, produksi minyak global justru naik signifikan. Total pasokan dunia diperkirakan naik 1,6 juta bopd pada 2025 menjadi rata-rata 104,6 juta bopd, dan kembali naik 970.000 bopd pada 2026.
"Negara-negara non-OPEC+ akan menjadi motor utama peningkatan produksi, dengan tambahan sebesar 1,3 juta bopd tahun ini dan 820.000 bopd pada 2026," tulis IEA.
Baca Juga
Di sisi lain, OPEC+ juga melakukan langkah mengejutkan pasar dengan menaikkan produksi secara bertahap, termasuk tambahan sebesar 411.000 pada Juni, lebih cepat dari jadwal sebelumnya pada Oktober 2025.
Namun, realisasi produksi diperkirakan lebih rendah karena beberapa negara menghadapi batasan kapasitas dan keharusan kompensasi atas produksi berlebih di masa lalu.
"OPEC+ tampaknya akan menambah produksi sebesar 310.000 bopd tahun ini dan 150.000 bopd 2026, menurut proyeksi terbaru," dikutip dari laporan tersebut.
Produksi dari Amerika Serikat, khususnya minyak serpih (light tight oil), juga direvisi turun seiring penurunan harga minyak dan pengurangan belanja modal oleh perusahaan independen. Total pasokan AS kini diproyeksikan naik hanya 440.000 bopd pada 2025 dan 180.000 bopd pada 2026.
IEA mengingatkan dengan adanya peningkatan pasokan yang jauh melampaui pertumbuhan permintaan, berpotensi membuka jalan bagi ketidakseimbangan pasar yang berkelanjutan dalam beberapa tahun ke depan.
Selain dinamika pasokan dan permintaan, langkah OPEC+ untuk mendongkrak produksi juga dinilai sejalan dengan kepentingan geopolitik Amerika Serikat, terutama menjelang musim liburan Memorial Day yang biasanya diikuti dengan peningkatan konsumsi energi.
Menurut Rystad Energy, stabilitas harga minyak menjadi agenda utama Presiden Donald Trump.
Senior Vice President Rystad Energy, Mukesh Sahdev menyatakan upaya mencegah lonjakan harga minyak selama musim panas kemungkinan akan tetap menjadi fokus utama Presiden Trump.
Hal ini penting mengingat pasar minyak global biasanya memasuki fase bullish antara Mei hingga Agustus, seiring dengan meningkatnya permintaan dari kilang minyak di berbagai negara.
Kebijakan penambahan pasokan oleh OPEC+ pun dianggap sebagai langkah strategis untuk menyeimbangkan pasar dan meredam potensi kenaikan harga yang tajam.
Namun, ketidakpastian masih membayangi, terutama terkait kebijakan Amerika Serikat terhadap Iran, Rusia, dan Venezuela yang berpotensi mengganggu pasokan minyak global.
Rystad Energy juga mencatat kemungkinan Amerika Serikat memanfaatkan harga minyak yang lebih rendah untuk mengisi cadangan strategis minyaknya dengan pasokan minyak dari Timur Tengah.
“Amerika Serikat bisa memanfaatkan pelemahan harga untuk mengisi cadangan strategis dengan minyak dari kawasan Timur Tengah. Hal ini tidak bisa diabaikan,” tambah Sahdev.