Bisnis.com, JAKARTA – Emiten properti menjadi salah satu sektor yang kurang diuntungkan dari situasi saat ini lantaran suku bunga acuan kembali ditahan, sedangkan PPN naik menjadi 12% pada tahun depan.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga acuan alias BI Rate di level 6% pada November 2024. Langkah ini diambil bank sentral untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global, serta perkembangan politik di Amerika Serikat.
Seiring keputusan BI, indeks saham properti parkir di zona merah pada perdagangan Rabu (20/11/2024). Bursa Efek Indonesia mencatat, indeks properti ditutup melemah 0,71% menuju level 765,63. Penurunan tersebut menjadi tertinggi kedua atau di bawah indeks saham teknologi yang terkoreksi sebesar 1,94% ke 4.139,30.
Tekanan yang dihadapi indeks properti juga terekam sepanjang pekan lalu. Selama periode 11 – 15 November 2024, indeks ini turun 3,87% dari pekan sebelumnya.
Kendati sedang dalam fase menurun, indeks properti tercatat masih membukukan pertumbuhan sebesar 7,03% sepanjang tahun berjalan atau year to date (YtD), setidaknya sampai dengan akhir perdagangan kemarin.
Di sisi lain, emiten properti bakal menghadapi tantangan daya beli akibat kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 11% menjadi 12% pada 2025.
Baca Juga
“Dampak suku bunga untuk saat ini netral atau belum bisa memberikan sentimen positif, sedangkan kenaikan PPN bisa berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat terhadap properti,” ucap Sukarno Alatas, Head Riset Kiwoom Sekuritas Indonesia, saat dihubungi, Rabu (20/11/2024).
Sukarno menambahkan kemenangan Donald Trump juga berisiko membuat The Fed tidak dapat mempercepat penurunan suku bunga seiring ekspektasi yang memungkinkan penurunan inflasi di Amerika Serikat (AS) berjalan lambat.
Kondisi tersebut, lanjutnya, secara tidak langsung berdampak terhadap kebijakan BI yang diperkirakan turut menahan tingkat suku bunga acuannya. Ditambah lagi kenaikan PPN akan menjadi tantangan tambahan untuk sektor properti.
“Prospek sektor properti sepertinya cenderung stagnan, tetapi tetap ada peluang untuk tumbuh meskipun tidak akan signifikan,” ucap Sukarno.
Di tengah situasi ini, Kiwoom menilai saham BSDE, CTRA, dan PWON masih dapat dicermati dengan rekomendasi jangka pendek wait and see. Adapun jangka panjang direkomendasikan hold dengan target Rp1.100, Rp1.170, dan Rp490.
Sementara itu, dari kacamata pelaku usaha, Direktur PT Ciputra Development Tbk. (CTRA) Harun Hajadi mengatakan perseroan pasti mengikuti kebijakan pemerintah perihal tarif PPN, meski kenaikan ini melemahkan daya beli masyarakat.
“Kenaikan PPN pasti melemahkan daya beli masyarakat. Konsumsi saya perkirakan menurun, seberapa besarnya belum dihitung benar. Memang, kami pengusaha pasti mengharapkan tidak ada kenaikan PPN,” kata Harun kepada Bisnis.com.
Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) turut berharap pemerintah melanjutkan insentif pajak jelang implementasi kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025.
Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI), Bambang Ekajaya, juga menilai penetapan tarif baru PPN bakal memberikan dampak terhadap pasar perumahan.
“Kalau dari nilai kenaikannya hanya 1%, tetapi yang dikhawatirkan multiplier effect-nya. Khususnya sektor perumahan, bahan bangunan pasti naik,” kata Bambang.
Di samping itu, kenaikan tarif pajak juga berdampak pada kenaikan biaya logistik dan transportasi bahan-bahan konstruksi. Jika tidak dimitigasi, kondisi ini akan membuat harga rumah kian melambung dan akhirnya memberatkan masyarakat.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.