Bisnis.com, JAKARTA - Sekalipun kinerja fundamental perseroan terus bertumbuh, harga saham PT Indofarma Tbk. (INAF) dinilai sudah terlalu mahal.
Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetio menuturkan aktivitas ekspor emiten bersandi INAF ini cukup ekspansif. Hal tersebut tercermin baru-baru ini saat perseroan melakukan ekspor ke Afghanistan berupa obat ethical generik, ethical branded dan OTC, termasuk untuk produk OBH plus dan Indomag Syrup.
Selain negara tersebut, INAF juga telah ekspor ke Singapura, Kamboja dan Vietnam. Untuk ekspor ke negara lain sedang dalam tahap penjajakan adalah Irak, Azerbaijan, Nigeria dan Timor Leste.
"Hal ini dirasa cukup baik, dengan pengalaman dan kualitas yang diberikan INAF selaku produsen obat-obatan berlabel plat merah. Dimana produk-produknya juga bisa diterima oleh negara lain," katanya kepada Bisnis, Rabu (16/6/2021).
Hal ini bisa mendongkrak kinerja INAF pada tahun-tahun mendatang, khususnya pada tahun pandemi ini yang kebutuhan akan obat-obatan meningkat.
Hal ini juga yang membuat pendapatan INAF naik sekitar 26 persen YoY pada 2020, dengan nilai Rp1,7 triliun.
Baca Juga
"Untuk kuartal I/2021 pun INAF mencatat pendapatan yang luar biasa, naik 152 persen jika disanding dengan kuartal yang sama tahun lalu dengan nilai Rp 373,2 miliar. Apalagi nantinya ditambah dengan ekspansi distribusi ke negara lain," katanya.
Untuk rekomendasi sahamnya, INAF memang sempat booming pada Desember 2020 dan Januari 2021 akibat sentimen distribusi dan pengembangan vaksin Covid-19. Dengan level tertinggi Rp7.350 namun terus turun sampai level Rp2.210 saat ini dan masih mendatar.
Hal senada juga terjadi dengan emiten obat-obatan lainnya seperti KAEF, KLBF, MERK, PEHA, PYFA dan TSPC.
Untuk emiten farmasi dan obat-obatan swasta seperti TSPC, KLBF dan SIDO memiliki stabilitas kinerja yang baik, dengan torehan laba bersih yang konsisten dan cenderung naik.
Hal ini karena diversifikasi produknya yang berjenis consumers good. Berbeda dengan INAF yang menyediakan produk dan layanan berkualitas dengan harga terjangkau bagi masyarakat luas, sehingga lebih fokus pada kebutuhan obat-obatan.
Dia menilai harga terkini juga masih dirasa cukup tinggi dengan ratio inti PBV hampir 16x dan PER yang sangat tinggi, akibat net income yang masih flutuaktif.
"Jadi memang ruang bagi saham INAF untuk bangkit mungkin memerlukan waktu jangka panjang," imbuhnya.
Senior Analis CSA Research Institute Reza Priyambada menilai kalau dari sisi kinerja dengan adanya produk baru yang diekspor dapat memberikan tambahan kinerja bagi INAF. "Kita juga melihat, di triwulan 1 kinerja INAF mulai membaik seiring meningkatnya produk-produk kesehatan," katanya kepada Bisnis.
Menurutnya, kinerja ini harus dibarengi dengan pengembangan bisnis dan efisiensi beban sehingga dapat meningkatkan kinerja labanya.
Sementara itu, terkait prospek saham harus melihat sentimen di pasar serta sentimen industrinya. "Untuk farmasi ke depannya, harusnya masih prospektif ya seiring dengan kian meningkatnya kebutuhan akan produk-produk kesehatan," katanya.
Sayangnya, meski INAF prospektif, Reza menuturkan di mata pelaku pasar belum menarik karena PER-nya yang tinggi sehingga pelaku pasar lebih memilih farmasi lainnya.
Di sisi lain, Analis Teknikal Panin Sekuritas William Hartanto menerangkan secara teknikal saham INAF bergerak sideways dengan support Rp2.150, potensi buy on weakness dengan target harga pada Rp3.000.
Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.