Bisnis.com, JAKARTA – Tren inflasi medis dalam dua tahun terakhir ini diperkirakan masih akan terus berlanjut. Emiten rumah sakit menjadi pihak yang diuntungkan, sementara di sisi lain emiten farmasi dan asuransi disebut tertekan.
Adapun, dalam dua tahun terakhir emiten kesehatan menghadapi kenaikan harga dari sisi medis. Inflasi medis di Indonesia meningkat dari 10% pada 2024 dan ditaksir berlanjut mencapai 13,60% di tahun ini.
Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topan menilai dampak inflasi medis tersebut akan dirasakan berbeda oleh setiap sektor emiten kesehatan, yaitu emiten farmasi dan rumah sakit, hingga emiten asuransi.
"Untuk farmasi, misalnya INAF dan beberapa BUMN farmasi lain, kenaikan harga bahan baku obat yang mayoritas masih impor menjadi tantangan besar. Kenaikan ini sulit sepenuhnya ditransfer ke konsumen karena keterbatasan daya beli, sehingga margin laba tergerus." ujarnya kepada Bisnis, Selasa (19/8/2025).
Menilik laporan keuangan PT Indofarma Tbk. (INAF) dalam semester I/2025, perusahaan mencatatkan rugi bruto Rp9,96 miliar, didapatkan dari penjualan bersih sebesar Rp67,03 miliar dan beban pokok penjualan yang lebih besar, yakni Rp76,99 miliar.
Dari komponen beban pokok penjualan tersebut, sebesar 39,03% atau Rp30,05 miliar bersumber dari bahan baku. Ongkos bahan baku INAF di paruh pertama 2025 ini melesat 30,42% year-on-year (YoY) dari Rp23,04 miliar pada semester I/2024.
Pada semester I/2025 ini, INAF belum bisa memperbaiki kinerja keuangan. Tercatat, rugi tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk atau rugi bersih sebesar Rp43,55 miliar.
"Jadi, subsektor farmasi cenderung lebih tertekan di era inflasi medis tinggi," ujarnya.
Kala emiten farmasi tertekan, Ekky menilai emiten rumah sakit seperti SILO atau MIKA justru relatif diuntungkan. Menurutnya, biaya obat dan alat kesehatan yang naik bisa diteruskan ke pasien, sementara strategi pergeseran layanan ke segmen privat membuat margin emiten rumah sakit lebih terjaga.
"Ini terlihat dari pertumbuhan ASP atau average selling price dan pendapatan per pasien yang terus meningkat. Inflasi medis di sisi rumah sakit justru bisa mendorong pendapatan dan laba, sehingga subsektor ini menjadi salah satu yang resilient," tegasnya.
Berdasarkan laporan keuangan semester I/2025 PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk. (MIKA), perseroan membukukan pertumbuhan pendapatan 4,52% YoY menjadi Rp2,56 triliun. Bila dibedah, pendapatan dari segmen rawat inap naik dari Rp1,68 triliun menjadi Rp1,74 triliun. Sedangkan, dari segmen rawat jalan meningkat dari Rp772,02 miliar menjadi Rp820,87 miliar.
Dalam enam bulan pertama 2025 ini, beban pokok yang ditanggung MIKA tumbuh 2,39% YoY menjadi Rp1,16 triliun. Pertumbuhan beban yang tak signifikan ini membuat laba bersih perseroan naik 6,52% YoY dari Rp600,56 miliar menjadi Rp639,72 miliar.
Sementara bagi emiten asuransi, Ekky melihat situasinya tidak jauh berbeda dengan emiten farmasi. Menurutnya, adanya inflasi medis yang tinggi membuat emiten seperti LIFE akan terbebani klaim yang lebih tinggi karena biaya perawatan naik, sementara harga premi tidak bisa dinaikkan begitu saja.
"Akibatnya, margin underwriting tertekan dan bottom line ikut terkikis. Dengan kata lain, subsektor asuransi kesehatan cenderung paling rentan terhadap tren inflasi medis tinggi," tandasnya.
Merujuk laporan keuangan PT MSIG Life Insurance Indonesia Tbk. (LIFE), selama semester I/2025 perusahaan asuransi ini sebenarnya mencatatkan pendapatan asuransi sebesar Rp941,69 miliar. Namun, biaya jasa asuransi tercatat lebih besar mencapai Rp1,00 triliun.
Jika ditambah dengan beban bersih dari kontrak reasuransi senilai Rp11,07 miliar, LIFE mencatat total hasil jasa asuransi -Rp73,84 miliar.
Kinerja top line yang negatif tersebut mengikis kondisi bottom line, di mana laba periode berjalan atau laba bersih perusahaan turun 29,06% YoY dari Rp150,98 miliar menjadi Rp107,11 miliar.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.