Bisnis.com, JAKARTA – Pasar mata uang negara berkembang di Asia berhasil menghijau setelah Jerome Powell mengisyaratkan adanya pemangkasan suku bunga acuan AS untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade.
Ahli Strategi Pasar Berkembang TD Securities Singapura Mitul Kotecha mengatakan bahwa komentar dovish Ketua The Fed Jerome Powell di House Financial Services Committee Rabu (10/7) malam secara efektif meningkatkan harapan pasar terhadap penurunan suku bunga 25 bps pada akhir bulan ini.
“Penegasan oleh Jerome Powell akan menjadi stimulus lebih lanjut untuk pergerakan seluruh aset negara berkembang di Asia, tidak hanya mata uang tetapi juga pasar obligasinya,” ujar Mitul seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (11/7/2019).
Selain itu, komentar Powell juga memungkinkan akan membantu memacu bank sentral negara berkembang di Asia untuk menurunkan suku bunga acuannya. Adapun, Bank of Korea dan Bank Indonesia menjadi bank sentral Asia yang akan mengumumkan kebijakan moneternya dalam waktu dekat ini.
Mitul mengatakan kemungkinan besar kedua bank tersebut dipastikan akan menurunkan suku bunganya pada pekan depan atau dalam beberapa bulan ke depan.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Kamis (11/7/2019) hingga pukul 18.22 WIB, mayoritas mata uang Asia bergerak menguat dengan dipimpin oleh won yang berhasil naik 0,69 persen, kemudian di susul oleh ringgit yang menguat 0,53 persen.
Rupiah berhasil menjadi menduduki posisi ketiga mata uang dengan kinerja terbaik di Asia. Mata uang Garuda berhasil menguat 0,46 persen menjadi Rp14.067 per dolar AS.
Kendati demikian, hanya dolar Hong Kong yang bergerak terkoreksi melawan dolar AS, yaitu menurun 0,041 persen.
Di sisi lain, Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa penguatan rupiah juga didorong oleh sentimen terpilihnya Destry Damayanti menjadi Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia.
“Dengan melihat track record beliau [Destry Damayanti], pasar menjadi lebih percaya diri terhadap ekonomi Indonesia. Apalagi, beliau ekonom senior yang pro dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dovish,” papar Ibrahim kepada Bisnis.
Sementara itu, Ibrahim mengatakan bahwa menguatnya harga minyak mentah yang sudah mencapai level US$60,8 per barel bisa menjadi tantangan terhadap penguatan rupiah.
Hal tersebut dikarenakan harga minyak yang tinggi akan berdampak negatif terhadap impor minyak Indonesia sehingga dikhawatirkan akan mengganggu neraca perdagangan yang menjadi fundamental rupiah.
Ibrahim mempridiksi rupiah masih akan diperdagangkan menguat dengan kisaran Rp14.030 per dolar AS hingga Rp14.110 per dolar AS pada perdagangan Jumat (12/7/2019).