Bisnis.com, JAKARTA—Kinerja emiten plastik bisa lebih mengembang pada 2016 seiring kondisi ekonomi yang diperkirakan lebih baik dari tahun lalu.
Analis PT Koneksi Capital Alfred Nainggolan mengatakan, sekitar 58% kebutuhan plastik datang dari industri kemasan. Saat ekonomi membaik, tingkat konsumsi masyarakat akan bertumbuh. Hal tersebut akan menjadi penopang demand emiten sektor plastik.
“Sehingga kinerja keuangan baik pendapatan dan laba bersih emiten plastik tahun ini akan jauh lebih baik dari sebelumnya,” katanya kepada Bisnis.com, Selasa (19/1/2016).
Selain itu, kinerja emiten plastik akan bertumbuh tak terlepas dari harga minyak dunia yang anjlok hingga di bawah US$30 per barel. Anjloknya harga minyak dunia tersebut akan memotong biaya produksi dan distribusi.
Di sisi lain paket kebijakan pemerintah yang memuat ‘pemotongan’ jalur perijinan akan pula membantu kinerja industri tak terkecuali emiten plastik. Harapan kinerja lebih baik pun semakin besar karena direalisasikannya program pemerintah di bidang infrastruktur khususnya jalan raya.
“Hal-hal itu akan mengurangi biaya operasional. Margin laba bisa lebih tinggi,” ucapnya.
Meski demikian, lanjut dia, tantangan terbesar akan datang dari nilai tukar rupiah yang masih lemah terhadap dolar Amerika Serikat. Pasalnya, row material plastik masih harus banyak didatangkan dari luar negeri.
Analis dari PT Pefindo riset Konsultasi Guntur Tri hariyanto pun mengamini jika kinerja emiten plastik pada 2016 akan lebih positif. Senada dengan Alfred, dia menyebut hal ini akan sejalan dengan kondisi ekonomi yang lebih baik sehingga menggenjot konsumsi masyarakat.
Dia menilai, produk dari emiten plastik merambah ke berbagai sektor industri barang konsumsi. “Karena kebutuhan akan plastik ini sebagian besar tak terlepas dari kemasan barang konsumsi,” ucapnya dalam kesempatan yang berbeda.
Melihat peluang itu, Guntur mengatakan seharusnya tahun ini emiten plastik bisa rebound karena tahun lalu terpukul pelambatan ekonomi. Dia pun menyebut emiten plastik bisa menuai berkah dari turunnya harga minyak dunia.
Akan tetapi di sisi lain, dia menyebut harus tetap mewaspadai depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Hal itu bisa diperparah dengan tindakan otoritas Tiongkok yang bisa kapan saja melakukan devaluasi Yuan.
Kekhawatirannya, produk plastik impor berharga lebih murah dari China bisa mengancam.
“Jika harga minyak rendah ongkos produksi bisa turun. Tapi margin harus tetap dijaga karena rupiah yang masih bisa melemah dan dolar Amerika Serikat masih lebih tinggi dari beberapa tahun lalu,” cetusnya.
Senada dengan peluang tersebut, manajemen PT Argha Karya Prima Industry Tbk. merasa optimistis dapat menumbuhkan kinerja penjualan dan laba bersih tahun ini hingga 25%. Direktur Keuangan PT Argha Karya Prima Industry Tbk Jimmy Tjahjanto mengatakan, hal itu tak terlepas dari pasar yang disasar.
Emiten berkode AKPI tersebut menyasar plastik untuk kemasan consumer goods. Menurutnya, kebutuhan akan makanan dan minuman adalah hal primer yang akan selalu ada. Sebagai gambaran, merujuk laporan keuangan AKPI, penjualan hingga kuartal III/2015 berakhir mencapai Rp1,4 triliun dengan laba bersih Rp9,3 miliar.
Pun demikian dengan PT Yanaprima Hastapersada Tbk. yang berharap kinerja penjualan pada tahun ini lebih baik dari tahun lalu dengan membidik target hingga Rp400 miliar. Terkait kinerja penjualan emiten plastik tersebut pada tahun lalu secara full year masih menunggu proses audit tapi diperkirakan di bawah target yang dibidik tahun ini.
Menilik laporan keuangan emiten berkode YPAS pada periode Januari-September 2015 hanya mencapai Rp212 miliar. Corporate Secretary PT Yanaprima Hastapersada Tbk. Lukas Lucky mengatakan, target penjualan yang ingin dicapai pada tahun ini diharapkan mendekati raihan pada 2014.
Pada tahun tersebut YPAS mampu membukukan kinerja penjualan mencapai Rp421 miliar. Tak heran jika YPAS berusaha mematok target penjualan seperti pada 2014. Karena jumlah tersebut merupakan angka psikologis bagi perusahaan untuk bangkit dari pelambatan kinerja.
Pasalnya, pada tahun lalu, kinerja penjualan perusahaan tidak terlalu moncer. Pada Januari-September 2015 perusahaan mengalami penurunan penjualan hingga 33% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp317 miliar.
Di sisi lain, pada Januari-September 2015 perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp6 miliar. Sedangkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya, meski kinerja penjualan lebih tinggi, YPAS tetap mengalami kerugian yang mencapai Rp8,6 miliar.
Menilik rekam jejak YPAS, perusahaan tersebut terakhir meraih laba bersih yaitu pada 2013. Di tahun itu YPAS mengantongi penjualan bersih mencapai Rp439 miliar dengan laba bersih sebesar Rp6,2 miliar
Lukas menyebut, pihaknya optimistis membukukan pertumbuhan kinerja tahun ini karena kondisi perusahaan dalam tahap pemulihan. Hal itu pun disokong kondisi ekonomi tahun ini yang digadang-gadang akan lebih baik dari tahun sebelumnya.