Bisnis.com, JAKARTA – PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) telah mengalihkan kuota ekspor gas sebesar 27 billion British thermal units per day (BBtud) untuk PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS).
Produksi gas tersebut diambil dari West Natuna Gas Supply Group dan pengalirannya dilakukan oleh Medco E&P Grissik Ltd. dan PetroChina International Jabung Ltd. Pasokan gas dari MEDC ini akan dipakai untuk memenuhi defisit kebutuhan gas industri domestik dalam program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Di sisi lain, blok-blok gas yang dikelola anak usaha MEDC tengah mengalami natural decline yang membuat produksinya menurun dari tahun ke tahun.
Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topan menilai realokasi gas MEDC untuk program HGBT ini berpotensi akan menggerus pendapatan ekspor yang diterima perseroan.
"Karena jika dialihkan ke domestik, harga jual akan turun, meskipun mungkin tidak signifikan karena fokus MEDC sendiri saat ini sedang diversifikasi bisnisnya," kata Ekky kepada Bisnis, Senin (25/8/2025).
Dalam semester I/2025, MEDC membukukan jumlah pendapatan sebesar US$1,14 miliar. Dari angka tersebut, sebesar US$500,52 juta bersumber dari penjualan domestik, sementara US$637,87 juta berasal dari penjualan ekspor.
Baca Juga
Pendapatan dari pasar ekspor tersebut naik dibanding periode yang sama di 2024, dengan nilai US$603,47 juta. Sedangkan, pendapatan yang didapat dari pasar dalam negeri turun dari US$561,89 juta. Secara total, pendapatan MEDC pada semester I/2024 mencapai US$1,16 miliar.
Berkurangnya total pendapatan yang dicatat perusahaan membuat laba periode tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk atau laba bersih turun dari US$202,27 juta menjadi US$37,37 juta.
Ekky menilai diversifikasi bisnis MEDC tetap dapat memberi optimisme pasar sehingga dia merekomendasikan buy dengan target harga jangka menengah di Rp1.560-Rp1.600.
Setali tiga uang, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nafan Aji Gusta mengatakan pendapatan MEDC dapat terpangkas imbas mengalihkan kuota ekspornya untuk memasok gas domestik.
"PGN sedang kurang pasokan, jadi mau bagaimanapun Medco harus support hal tersebut walau memang di sisi lain pendapatan Medco dapat terpangkas," kata Nafan.
Nafan juga tetap memberikan rekomendasi buy untuk MEDC dengan target harga di level Rp1.385. Dalam perdagangan terakhir, MEDC ditutup turun 1,21% ke Rp1.225.
Produksi Blok Gas Susut
Anak usaha Medco, Medco E&P Grissik Ltd. dan Medco E&P Natuna Ltd. menjadi dua dari 10 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) minyak dan gas (migas) dengan realisasi terbesar hingga 31 Mei 2025 year to date (YtD).
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Medco E&P Grissik Ltd. telah merealisasikan lifting migas sebesar 101 thousand of barrels oil equivalent per day (MBOEPD) dan realisasi produksi sebesar 120 MBOEPD. Lifting dan produksi dilakukan di wilayah kerja (WK) South Natuna Sea Block B (SNSB) di Kepulauan Riau.
Sedangkan Medco E&P Natuna Ltd. yang beroperasi di WK Corridor Sumatra Selatan telah mencatat realisasi lifting migas 29 MBOEPD dan realisasi produksi 37 MBOEPD.
Senior VP Corridor Asset Medco E&P Tri Laksono melaporkan sejak 2022 hingga 2025 lifting gas di WK SNSB relatif stagnan dan cenderung menipis. Lifting gas di WK ini year to date mencapai 144 million standard cubic feet per day (MMSCFD), dari outlook 2025 mencapai 115 MMSCFD. Angka tersebut jauh dari lifting gas sebesar 142 MMSCFD pada 2022.
"Produksi sampai akhir Mei agak rendah karena keterlambatan proyek Forel. Namun setelah proyek Forel menjual produksi mulai Juni, kita lihat outlook 2025 naik dari tahun lalu. Produksi Forel dan Terubuk berlanjut di 2026 sehingga prognosa 2026 lebih tinggi dibanding tahun lalu. Ini bisa kita capai dengan optimasi produksi dua lapangan ini," kata Tri.
Tri mengatakan tahun ini cost recovery yang dikeluarkan Medco untuk penyelesaian lapangan Forel dan Terubuk cukup besar. Namun, dengan total investasi sekitar US$600 juta, proyek ini akan menambah pasokan energi nasional hingga sebesar 20.000 BOPD minyak dan 60 MMSCFD gas atau setara total produksi sekitar 30.000 BOEPD.
Tri mengatakan dengan berproduksinya dua lapangan tersebut membuat perusahaan menjadi lebih efisien di tahun depan. Cost per barrel di WK SNSB tahun ini mencapai US$38 per barrel, dan diperkirakan hanya menjadi US$32 per barel tahun depan.
"Karena sudah tidak ada lagi proyek-proyek besar di 2026, sementara produksinya bisa kita dapat dari proyek ini," ujarnya.
Sedangkan untuk di WK Corridor, realisasi lifting gas per Mei 2025 secara year to date mencapai 595 MMSCFD. Meskipun telah melampaui target pemerintah sebesar 588 MMSCFD di 2025, diperkirakan pada 2026 nanti kemampuannya hanya sampai di 530 MMSCFD.
Sejak 2022, lifting gas dari blok ini terus susut dari 845 MMSCFD pada 2022 menjadi 677 MMSCFD pada 2024. Tri menjelaskan hal ini disebabkan karena natural decline. Upaya Medco untuk mereda gejala alam ini adalah dengan terus melakukan pengeboran sumur sehingga decline dapat ditahan.
"Untuk tahun depan produksi lebih turun dibanding tahun ini karena natural decline. Kami usahakan bisa mencapai target tersebut dengan pengeboran sumur. Ini upaya kami agar produksi dari Corridor tidak terlalu turun," pungkasnya.
_______
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.