Bisnis.com, JAKARTA — Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) turun ke level terendah dalam 22 bulan terakhir ditopang stabilitas rupiah dan ekspektasi pelonggaran moneter The Fed dan Bank Indonesia.
Berdasarkan catatan Mirae Asset Sekuritas Indonesia, yield SBN 10 tahun ditutup di level 6,33% pada Senin (25/8/2025). Level itu disebut merupakan level terendah sejak Februari 2023 atau dalam 22 bulan terakhir.
Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar AS sebesar 0,6% menjadi Rp16.253 per dolar AS.
Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto menyampaikan tren positif pasar SBN dan rupiah dipengaruhi oleh faktor global, yaitu sinyal positif terbukanya peluang yang lebih besar penurunan suku bunga acuan FFR pada 17 September mendatang.
“Kami merasa bahwa tren positif pasar obligasi pemerintah masih akan terus berlanjut, dengan syarat bahwa rupiah akan tetap stabil,” tulisnya dalam riset, Selasa (26/8/2025).
Rully mengatakan minat terhadap aset berisiko atau risk appetite investor asing terhadap SBN masih terjaga. Hal itu ditunjukan oleh indikator credit default swap (CDS) Indonesia 5 tahun yang masih stabil dan cenderung menurun, bersamaan dengan beberapa negara di Asean, termasuk Filipina dan Thailand.
Meski begitu, Rully juga menyoroti kepemilikan investor asing di SBN yang menurun selama 2 hari pada pekan lalu, sebesar Rp4,7 triliun menjadi Rp948,2triliun per 21 Agustus 2025. Namun demikian, kepemilikan bank di SBN meningkat secara sangat signifikan pada saat yang bersamaan yaitu senilai Rp45,2 triliun menjadi Rp1.318,5 triliun.
Dia menyampaikan saat ini likuditas di sistem keuangan mengalami pelonggaran setelah Bank Indonesia menurunkan BI Rate secara agresif.
Pertumbuhan jumlah uang beredar per akhir Juli meningkat, terutama uang dalam arti sempit (M1), yang pada Juli tumbuh 8,1% year-on-year (YoY), yang merupakan pertumbuhan tertinggi dalam 8 bulan terakhir, sedangkan uang dalam arti luas tumbuh lebih rendah sebesar 6,5%.
“Di tengah kondisi likuiditas yang membaik, permintaan kredit masih belum mengalami perbalikan tren.”
Data terakhir yang diumumkan oleh BI, pertumbuhan kredit hanya mencapai 7,0% YoY per Juli. Pada saat yang sama, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sebesar 7,0% YoY sehingga loan to deposit ratio (LDR) perbankan masih tergolong rendah sebesar 86,5%.
“Hal ini menyebabkan potensi permintaan terhadap SBN masih cukup tinggi, dengan permintaan kredit yang masih menurun dan perbankan masih berhati-hati dalam menyalurkan kredit,” imbuhnya.
Terpisah, Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas Handy Yunianto mengatakan selisih imbal hasil atau spread antara yield obligasi Indonesia dengan yield US Treasury kini berada di titik terendah sepanjang sejarah.
Kondisi ini mencerminkan persepsi risiko Indonesia yang terus membaik. Indikasi serupa juga terlihat dari CDS 5 tahun Indonesia yang kian menurun, mendekati rekor terendah di level 60.
Namun, Handy menegaskan yield SUN 10 tahun Indonesia yang masih tertahan di kisaran 6,4% masih jauh lebih lebar dibandingkan dengan negara tetangga. Yield obligasi 10 tahun Thailand, misalnya, hanya 1,3%. Sementara itu, yield obligasi Malaysia sebesar 3,4%. keduanya bahkan lebih rendah dari yield US Treasury di level 4,2%.
Handy menilai upaya menurunkan yield SBN seperti maraton, bukan sprint jangka pendek. Menurutnya, ada tiga kunci utama untuk menurunkan yield SBN. Pertama, dengan menekan faktor risiko eksternal dengan memperbaiki neraca transaksi berjalan.
Kedua, menjaga dan meningkatkan sovereign rating dengan disiplin fiskal, stabilitas makro, dan pertumbuhan berkelanjutan. Ketiga, memperdalam pasar keuangan domestik dengan memperluas basis investor dan memberi insentif fiskal, misalnya lewat penurunan pajak atas investasi di SBN.