Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan BI Rate menjadi angin segar bagi sejumlah emiten di sektor sensitif suku bunga, seperti perbankan hingga properti.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup menguat usai BI memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% pada Rabu (16/7/2025).
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG menguat sebesar 0,72% atau 51,52 poin menuju posisi 7.192,01. Sepanjang perdagangan kemarin, indeks komposit dibuka pada level 7.182,64 dan sempat menyentuh level tertingginya di 7.216.81.
Secara sektoral, IDX Technology memimpin penguatan pada perdagangan Rabu (16/7/2025) dengan lonjakan 6,09%. Penguatan sektor teknologi disusul oleh IDX Transportation and Logisctics yang naik 2,36%, IDX Infrastructure naik 1,82% dan IDX Energy naik 1,72%. Sementara itu, IDX Financials hanya naik tipis 0,16%.
Arfian Prasetya A., Economist KISI Asset Management, menyampaikan BI memangkas BI Rate sebesar 25 bps ke level 5,25% menjadi kejutan sekaligus angin segar bagi pasar. Turunnya BI Rate juga mencakup pemangkasan suku bunga Deposit Facility dan Lending Facility masing-masing sebesar 25 bps menjadi 4,5% dan 6,0%.
Keputusan ini bertentangan dengan mayoritas konsensus yang memperkirakan suku bunga akan tetap mengingat tekanan dari faktor eksternal masih tinggi.
“Keputusan BI bertentangan dengan konsensus, karena ruang pemangkasan oleh Federal Reserve yang kemungkinan kian mengecil karena inflasi yang meningkat,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (16/7/2025).
Arfian menyampaikan sektor saham yang diuntungkan dengan penurunan BI Rate ialah ang memiliki sensivitas tinggi terhadap suku bunga, seperti perbankan.
Terlebih lagi, bagi perbankan yang memiliki Cost of Fund (CoF) yang relatif tinggi dibanding bank lain, contohnya seperti PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN).
Dengan adanya penurunan suku bunga acuan, CoF dapat berkurang sehingga bank-bank tersebut dapat memberikan kredit yang lebih terjangkau. Alhasil, permintaan kredit dapat meningkat dan bisnis dapat semakin bertumbuh, dalam hal ini perbankan diuntungkan, dan ekonomi juga turut terdorong.
Menurutnya ke depan BI kemungkinan hanya akan melakukan satu lagi pemangkasan BI Rate sebesar 25 bps pada kuartal IV/2025. Hal ini berkaitan juga dengan ruang pemangkasan suku bunga The Fed (Fed Fund Rate/ FFR) yang kini kian terbatas.
“The Fed diperkirakan maksimal hanya 2 kali pemangkasan pada semester II/2025, masing-masing 25 bps. Kemungkinan baru dilakukan di September atau bahkan Oktober apabila data inflasi belum ada tanda-tanda perbaikan,” imbuhnya.
Secara keseluruhan, sambung Arfian Prasetya, pemangkasan BI Rate merupakan langkah positif bagi ekonomi domestik. Meskipun demikian, dampaknya terhadap market dalam jangka pendek kemungkinan dimoderasi oleh ekspektasi yang sudah terbentuk dan faktor-faktor global yang cukup dominan.
Terpisah, Equity Research Analyst Panin Sekuritas Felix Darmawan menilai ke depan, pospek IHSG akan sangat ditentukan oleh tarik-ulur dua sentimen besar itu, yakni tarif resiprokal dari Trump dan penurunan BI Rate.
"Di satu sisi, keputusan BI memangkas suku bunga jadi angin segar bagi pasar, karena bisa menurunkan cost of capital dan dorong konsumsi serta investasi, yang pada akhirnya bisa menopang laba emiten, khususnya di sektor properti, konstruksi, dan consumer non-cyclicals," kata Felix kepada Bisnis pada Rabu (16/7/2025).
Namun di sisi lain, terdapat sentimen tarif Trump ke Indonesia sebesar 19% yang akan tetap menjadi 'awareness alert' untuk investor, terutama yang memiliki eksposur besar ke pasar ekspor AS.
"Sektor yang bisa terdampak negatif [tarif Trump] mencakup tekstil dan garmen, alas kaki, hingga komponen otomotif dan farmasi, tergantung komoditas apa saja yang kena tarif," ujar Felix.
Sementara itu, Associate Director Pilarmas Investindo Maximilianus Nicodemus mengatakan kebijakan tarif AS akan memberikan dampak positif, sebab kesepakatan AS dengan berbagai negara kian tercapai. Ketidakpastian pun semakin terkikis.
Hanya saja, sejumlah sektor tertentu di pasar saham tetap akan mendapatkan dampak negatif, seperti sektor kesehatan. Dengan begitu, pelaku pasar dan investor akan memindahkan aliran dananya kepada sektor yang sesuai dengan kesepakatan tarif seperti energi.
Adapun, menurutnya penurunan suku bunga acuan BI akan mampu mendongkrak laju IHSG dan memberikan dampak positif ke semua sektor saham.
"Apabila tingkat suku bunga diturunkan, maka semua sektor harusnya mendapatkan sentimen positif, baik properti, otomotif, teknologi, perbankan, consumer goods karena beban bunga pun mengalami penurunan dan akan mendorong daya beli dan konsumsi," kata Nicodemus.
Community & Retail Equity Analyst Lead PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Angga Septianus menilai kebijakan tarif 19% yang dikenakan AS terhadap Indonesia lebih rendah dari tarif yg diumumkan pada awal April dan Juli yakni 32%. Tarif 19% juga lebih rendah dibandingkan negara tetangga.
Sementara itu, penurunan suku bunga BI memberikan sinyal bahwa otoritas moneter siap mendukung pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas nilai tukar, dan menstimulus permintaan domestik.
"Kebijakan ini [penurunan suku bunga acuan BI] secara historis memiliki korelasi positif dengan peningkatan likuiditas di pasar saham serta memperkuat minat investor asing terhadap aset berisiko, terutama jika didukung oleh inflasi yang terkendali dan outlook fiskal yang tetap solid," ujar Angga.
Kebijakan pelonggaran moneter juga umumnya mendukung sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga, antara lain bank jumbo seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), dan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA).
Pelonggadan moneter dinilai mampu menurunkan biaya dana dan potensi pertumbuhan kredit yang lebih tinggi bagi perbankan.
Selain itu, emiten properti seperti PT Ciputra Development Tbk. (CTRA), PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSDE), dan PT Summarecon Agung Tbk. (SMRA) terdampak positif seiring lebih rendahnya suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dan meningkatnya daya beli konsumen properti.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.