Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pemerintah menerapkan bea keluar fleksibel atas komoditas emas dan batu bara menjadi sentimen negatif yang menghantui prospek kinerja dan saham emiten-emiten di sektor tersebut.
Seperti diberitakan Bisnis, Pemerintah kini tengah mengkaji pengenaan bea keluar terhadap emas dan batu bara dengan besaran yang fleksibel mengikuti perkembangan harga di pasar.
Artinya, bea keluar bakal dikenakan saat harga dianggap tinggi dengan besaran tertentu, tetapi ditangguhkan ketika harga dinilai kurang menguntungkan.
Pelaku pasar merespons negatif sentimen tersebut. Pada Selasa (15/7/2025), sejumlah saham emiten emas dan batu bara terpantau mengalami koreksi saat indeks harga saham gabungan (IHSG) melaju di teritori hijau.
Dari sektor emas, saham PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) ditutup melemah 0,99% ke level Rp3.000 per saham. Saham PT Archi Indonesia Tbk. (ARCI) juga turun 3,36% menjadi Rp575 dan PT Bumi Resources Minerals Tbk. (BRMS) terkoreksi 1,68%. Adapun, saham PT Merdeka Copper Gold Tbk. (MDKA) masih menguat 2,87% ke Rp2.150.
Di sektor batu bara, harga saham emiten tambang pelat merah yakni PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) terkontraksi sebesar 0,80% menuju Rp2.470, sedangkan saham PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (ADRO) turun 0,55% ke Rp1.815.
Saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG) ikut melemah 0,22% ke Rp22.400 dan PT Indika Energy Tbk. (INDY) turun 0,75% menjadi Rp1.330. Sebaliknya, saham PT Bayan Resources Tbk. (BYAN) dan PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA) mencetak kenaikan masing-masing 1,03% dan 3,67%.
Pelemahan mayoritas saham tambang itu terjadi saat IHSG yang ditutup menguat sebesar 0,61% atau 43,22 poin menuju posisi 7.140,47 pada perdagangan kemarin.
Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata menyatakan bahwa penerapan skema fleksibel berpotensi membuat harga jual komoditas Indonesia menjadi kurang kompetitif dibandingkan dengan negara pesaing seperti Australia, Afrika Selatan, dan Rusia.
Pasalnya, ketika harga tinggi dan bea keluar berlaku, biaya ekspor akan meningkat sehingga margin menurun. Pembeli pun bisa beralih, terutama untuk pasar yang sensitif terhadap harga seperti India, China dan negara berkembang.
“Daya saing global terancam saat harga sedang tinggi, ketika seharusnya margin ekspor optimal,” ujar Liza saat dihubungi Bisnis, Selasa (15/7/2025).
Sementara itu, saat harga global rendah dan bea keluar dibebaskan, dampaknya diperkirakan cenderung netral. Namun, kondisi harga batu bara dan emas yang rendah umumnya disertai dengan permintaan yang melemah di pasar internasional.
Liza menilai kebijakan bea keluar berpotensi memberikan sentimen negatif bagi sejumlah emiten eksportir murni seperti ITMG, ADRO, DSSA, dan MDKA.
Keempat emiten ini disebut mengandalkan 70% hingga 100% penjualannya dari pasar ekspor. Alhasil, bea keluar akan menambah beban margin, serta berisiko menurunkan volume ekspor dan laba bersih emiten.
Di sisi lain, emiten dengan orientasi domestik atau hilirisasi seperti PTBA dan BRMS dinilai lebih tahan terhadap dampak rencana kebijakan bea keluar.
“BRMS menjual seluruh produknya ke smelter domestik milik sendiri, sehingga dampak bea keluar sangat minim,” pungkas Liza.
Dia menuturkan bahwa PTBA memiliki porsi penjualan batu bara dalam negeri sebesar 53% pada 2024, sedangkan 47% sisanya berasal dari ekspor. Dengan begitu, dampak bea keluar terhadap perseroan hanya terasa saat harga tinggi.
Dari sisi investor, Liza menyatakan skema fleksibel justru menambah ketidakpastian regulasi. Mengingat mekanisme ini cenderung sulit diprediksi dan meningkatkan volatilitas dalam valuasi.
“Investor mungkin memasukkan ‘regulatory risk premium’ terhadap emiten ekspor yang rawan terkena bea keluar, apalagi jika dasar pengenaan dan waktu pemberlakuan tidak konsisten,” ujar Liza.
Dihubungi terpisah, Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nafan Aji Gusta menilai fleksibilitas dalam pengenaan bea keluar sebaiknya dikaji lebih dalam agar bisa disesuaikan dengan kondisi pasar.
Hal itu dikarenakan rata-rata harga jual (average selling price/ASP) sejumlah komoditas tengah mengalami penurunan dalam beberapa kuartal terakhir.
“Emiten-emiten sedang menghadapi penurunan ASP akibat pelemahan harga komoditas dunia. Jadi skema bea keluar yang fleksibel perlu sangat diperhatikan agar tak memperburuk tekanan,” pungkasnya kepada Bisnis.
Meski demikian, tenggat implementasi pada 2026 memberi ruang bagi pelaku usaha untuk bersiap. Dengan persiapan optimal, kebijakan ini justru bisa menjadi katalis untuk memperkuat struktur industri dalam negeri ke depan.
Sebelumnya, analis KISI Sekuritas Muhammad Wafi berpendapat wacana pengenaan bea keluar yang tengah digodok pemerintah juga bisa menurunkan margin emiten, dan berisiko membuat oversupply batu bara dan emas di pasar domestik.
“Kalau tidak dikalkulasi dengan benar, bisa bikin produk RI kalah harga dari negara lain,” ucap Wafi.
Menurut Wafi, emiten minerba yang relatif lebih tahan dari aturan bea keluar ini adalah emiten yang banyak melakukan penjualan domestik, seperti PTBA dan ANTM.
Risiko Tekanan Margin dan Oversupply
Sejumlah emiten ikut buka suara merespons wacana pengenaan bea keluar ini. PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) menyatakan bakal mencermati lebih lanjut rencana pemerintah terkait dengan pungutan bea keluar atas ekspor batu bara yang dijadwalkan mulai berlaku pada 2026.
Corporate Secretary Bukit Asam Niko Chandra menyatakan implementasi bea keluar akan berdampak pada struktur biaya pokok penjualan dan berpotensi memengaruhi daya saing batu bara Indonesia di pasar global.
“Hal ini berpotensi memengaruhi daya saing batu bara Indonesia di pasar global dan dapat berdampak pada volume ekspor, tergantung pada besaran tarif yang ditetapkan,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (15/7/2025).
Menurutnya, emiten tambang pelat merah yang tercatat di BEI sejak 2002 ini, akan terus melakukan analisis dan penyesuaian strategi guna menjaga kinerja serta keberlanjutan usaha di tengah dinamika regulasi.
Terpisah, Direktur Utama PT RMK Energy Tbk. (RMKE) Vincent Saputra penerapan bea keluar ini akan menekan margin perusahaan batu bara.
“Bea keluar juga akan menjadi tantangan di tengah kondisi harga batu bara yang cenderung turun, tetapi biaya penambang meningkat dan mungkin dapat menekan margin,” tutur Vincent.
Di tengah kondisi penurunan harga batu bara saat ini, Vincent berharap pemerintah dapat memberlakukan kebijakan yang tidak terlalu memberatkan biaya operasional.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.