Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gerak Wall Street Pekan Ini, Investor Pantau Dampak Tarif Trump dan Data Inflasi

Laju bursa saham Amerika Serikat (AS) sepekan ke depan akan dipengaruhi dampak kebijakan tarif impor, rilis data inflasi, serta musim laporan keuangan.
Informasi pasar saham di Nasdaq MarketSite di New York, AS, Senin, 5 Agustus 2024. Aksi jual pasar global semakin dalam karena kekhawatiran terhadap resesi ekonomi AS semakin meningkat./Bloomberg-Michael Nagle
Informasi pasar saham di Nasdaq MarketSite di New York, AS, Senin, 5 Agustus 2024. Aksi jual pasar global semakin dalam karena kekhawatiran terhadap resesi ekonomi AS semakin meningkat./Bloomberg-Michael Nagle

Bisnis.com, JAKARTA - Dampak kebijakan tarif impor, rilis data inflasi, serta musim laporan keuangan akan menjadi sentimen yang mempengaruhi pergerakan bursa Amerika Serikat (AS) selama sepekan ke depan.

Sepanjang pekan lalu, pasar saham AS mencatatkan reli yang telah mendorong indeks ke level tertinggi sepanjang masa. Reli tersebut akan menghadapi musim laporan keuangan dan rilis data inflasi utama. Selain itu, investor menanti petunjuk lebih lanjut mengenai dampak ekonomi dari kebijakan tarif terbaru Presiden Donald Trump.

Melansir Reuters pada Senin (14/7/2025), indeks S&P 500 nyaris tak berubah sepanjang pekan lalu, namun telah melesat 26% sejak April dan mencatatkan rekor baru. 

Kinerja saham sejauh ini masih mampu mengabaikan ancaman Trump terkait pemberlakuan tarif agresif terhadap lebih dari 20 negara yang akan berlaku mulai 1 Agustus, termasuk tarif baru atas produk tembaga, farmasi, dan semikonduktor.

Chris Fasciano, Chief Market Strategist di Commonwealth Financial Network menjerlakan, investor kini mulai memandang ke akhir tahun dan tahun depan, di mana kondisi fundamental terlihat membaik. Mereka bersedia menoleransi ketidakpastian jangka pendek untuk mencapai ke sana.

Musim laporan keuangan kuartal I/2025 yang solid sempat mendorong reli saham. Namun, proyeksi untuk kinerja kuartal II mulai melemah. Berdasarkan data LSEG IBES, laba perusahaan dalam indeks S&P 500 diperkirakan naik 5,8% dibanding periode yang sama tahun lalu, turun dari ekspektasi 10,2% pada awal April.

Meski demikian, menurut analis dari Ned Davis Research, persentase perusahaan yang berhasil melampaui estimasi konsensus meningkat menjadi 78% pada kuartal I, setelah tiga kuartal sebelumnya terus menurun.

"Jika angka tersebut kembali berada di kisaran 70% ke atas, itu menandakan perusahaan memiliki pemahaman yang baik, bukan hanya terhadap kebijakan tarif, tetapi juga terhadap kondisi makroekonomi secara umum," tulis Ned Davis dalam laporannya.

Sejumlah laporan keuangan dari sektor perbankan akan mendominasi pekan ini, termasuk dari JPMorgan Chase, Bank of America, dan Goldman Sachs. Selain itu, perusahaan besar seperti Netflix, Johnson & Johnson, dan 3M juga akan merilis kinerja keuangannya.

Investor juga akan mencermati pernyataan para eksekutif terkait kemampuan perusahaan memprediksi dan mengambil keputusan dalam hal belanja modal dan perekrutan tenaga kerja di tengah ketidakpastian perdagangan global.

"Ketidakpastian memang belum hilang, tapi saya tertarik untuk melihat sejauh mana mereka merasa sudah memahami dan bisa merencanakan langkah jangka panjang," tambah Fasciano.

Dampak kebijakan tarif terhadap inflasi juga akan menjadi sorotan, terutama melalui data Indeks Harga Konsumen (CPI) untuk Juni yang dijadwalkan rilis Selasa (15/7/2025) waktu setempat. 

Ekonom yang disurvei Reuters memperkirakan CPI akan naik 0,3% secara bulanan, lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Data ekonomi penting lainnya termasuk penjualan ritel bulanan yang akan dipublikasikan Kamis.

Investor berharap The Federal Reserve segera melanjutkan pemangkasan suku bunga. Namun, para pejabat bank sentral sejauh ini masih menahan diri karena khawatir kebijakan tarif akan mendorong inflasi lebih tinggi.

Secara keseluruhan, indeks S&P 500 telah naik hampir 7% sepanjang 2025. Salah satu sinyal kuat dari momentum positif pasar adalah keberhasilan Nvidia Corp menjadi perusahaan publik pertama yang mencapai valuasi pasar US$4 triliun, berkat lonjakan saham yang dipicu oleh antusiasme terhadap chip AI.

Pasar saham sempat anjlok pada April lalu setelah Trump mengumumkan “Hari Pembebasan” dengan gelombang tarif global, namun sejak itu berhasil pulih.

Hari Rabu lalu sebelumnya diperkirakan menjadi tenggat penting, menandai akhir masa jeda atas sejumlah tarif “resiprokal” yang diumumkan Trump pada April. Pekan ini, Trump kembali meluncurkan berbagai tarif baru, yang sebagian besar akan mulai berlaku 1 Agustus.

Meski begitu, sebagian besar pelaku pasar masih optimistis bahwa AS akan menghindari kenaikan tarif lebih lanjut seiring negosiasi dengan mitra dagang utama seperti Jepang dan Korea Selatan.

Anthony Saglimbene, Chief Market Strategist di Ameriprise Financial menuturkan, kondisi tersebut yang sudah tercermin dalam harga pasar saat ini.

“Jika kesepakatan itu gagal tercapai, maka risiko terjadinya volatilitas jangka pendek akan meningkat jika Gedung Putih benar-benar memberlakukan tarif agresif tersebut," jelasnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper