Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak dunia melemah pada akhir perdagangan Kamis (12/6/2025), menyusul aksi ambil untung setelah reli lebih dari 4% sehari sebelumnya yang dipicu kekhawatiran akan gangguan pasokan akibat meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Melansir Reuters pada Jumat (13/6), harga minyak Brent turun 41 sen atau 0,6% menjadi US$69,36 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) AS terkoreksi 11 sen atau 0,2% ke posisi US$67,97 per barel.
Pelemahan ini terjadi di tengah sikap pasar yang masih waspada terhadap potensi konflik terbuka antara Israel dan Iran. Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan bahwa serangan Israel terhadap Iran “sangat mungkin” terjadi, meski ia menekankan bahwa itu bukan sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat dan dirinya lebih memilih menghindari konfrontasi langsung.
Pernyataan tersebut muncul setelah keputusan Washington untuk menarik sebagian personel militer dari kawasan Timur Tengah, yang sempat mendorong harga minyak melambung lebih dari 4% pada Rabu — kenaikan harian tertajam sejak awal April.
Menurut Alex Hodes, analis energi dari StoneX, lonjakan harga itu telah membawa minyak ke wilayah jenuh beli secara teknikal, sehingga koreksi harga jangka pendek dinilai sebagai respons yang wajar dari pasar.
Di tengah tensi yang meningkat, perwakilan AS dan Iran dijadwalkan bertemu di Oman pada Minggu mendatang untuk melanjutkan putaran keenam perundingan mengenai program pengayaan uranium Teheran. Trump sebelumnya telah berulang kali mengancam akan melancarkan serangan militer jika diplomasi gagal membuahkan kesepakatan. Iran, yang bersikukuh bahwa program nuklirnya bersifat damai, menyatakan siap melakukan serangan balasan jika diserang, termasuk dengan menargetkan pangkalan militer AS di kawasan.
Baca Juga
Ketegangan ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pelaku pasar terhadap kemungkinan terganggunya distribusi minyak global. Badan Maritim Inggris memperingatkan bahwa eskalasi konflik dapat mengganggu jalur pelayaran strategis, khususnya di Selat Hormuz — titik transit bagi sekitar 20% pasokan minyak dunia.
“Mimpi buruk terbesar bagi pasar energi adalah jika Selat Hormuz ditutup,” ujar Arne Rasmussen, analis dari Global Risk Management, lewat unggahan di LinkedIn. Ia memperingatkan bahwa penutupan selat itu akan berdampak luas pada pasokan dan harga minyak dunia.
Dalam skenario ekstrem, JPMorgan memperkirakan harga minyak bisa meroket ke kisaran US$120–130 per barel jika Selat Hormuz benar-benar ditutup. Meski demikian, bank investasi itu menilai probabilitas skenario tersebut masih tergolong rendah.
Situasi yang tak menentu membuat pelaku pasar cenderung berhati-hati. Giovanni Staunovo, analis komoditas di UBS, menyebut harga minyak masih bertahan lebih tinggi dibanding dua hari lalu karena para investor yang sebelumnya mengambil posisi jual kini memilih menunggu perkembangan selanjutnya.
Utusan khusus AS, Steve Witkoff, dikabarkan juga akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi di Oman untuk membahas respons Teheran terhadap proposal yang diajukan Washington.
Di sisi lain, Dewan Gubernur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang beranggotakan 35 negara menyatakan bahwa Iran telah melanggar komitmen non-proliferasi nuklir — pelanggaran pertama dalam hampir dua dekade. Keputusan tersebut membuka jalan bagi Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan lebih lanjut terhadap Teheran.