Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak dunia tergelincir menyusul laporan bahwa OPEC+ tengah menimbang opsi untuk meningkatkan produksi pada Juli, memicu kekhawatiran pasar bahwa lonjakan pasokan bisa melampaui pertumbuhan permintaan global.
Melansir Reuters pada Jumat (23/5/2025), minyak mentah berjangka Brent terkoreksi 47 sen atau 0,72% ke level US$64,44 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) melemah 37 sen atau 0,6% menjadi US$61,20 per barel.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya atau OPEC+ disebut sedang mempertimbangkan peningkatan produksi sebesar 411.000 barel per hari untuk Juli dalam pertemuan mereka pada 1 Juni mendatang. Belum ada kesepakatan yang dikunci, menurut sejumlah delegasi.
John Kilduff, mitra di Again Capital di New York menyebut, spekulasi OPEC+ adalah sentimen terbesar saat ini yang mempengaruhi pergerakan harga minyak dunia.
"Keputusan OPEC+ ini akan sangat berat, dan tidak membantu bahwa Kazakhstan tidak berhasil menambah produksinya bulan lalu," tambahnya.
Meski begitu, seorang sumber industri menyebut produksi minyak Kazakhstan naik 2% sepanjang Mei.
Baca Juga
Sinyal percepatan produksi dari OPEC+ sebelumnya telah muncul, dengan kabar bahwa kelompok ini mempertimbangkan kenaikan produksi hingga 2,2 juta barel per hari pada November. Pasokan tambahan juga telah mulai mengalir sejak Mei dan diperkirakan berlanjut pada Juni.
Harry Tchiliguirian dari Onyx Capital Group mengatakan pasar membaca bahwa OPEC mulai menggeser strateginya, bukan lagi semata menjaga harga, tapi mengejar pangsa pasar.
“Seperti mencabut plester: dilakukan sekaligus,” jelasnya.
Analis RBC Capital Helima Croft memperkirakan peningkatan produksi 411.000 barel per hari, khususnya dari Arab Saudi, menjadi skenario yang paling mungkin dalam pertemuan mendatang.
"Pertanyaan krusialnya adalah, apakah pemangkasan sukarela benar-benar akan dihentikan sepenuhnya sebelum musim gugur tiba di banyak wilayah dunia," ungkapnya dalam catatan analis.
Tekanan tambahan datang dari data Administrasi Informasi Energi AS (EIA) yang dirilis Rabu, menunjukkan lonjakan tak terduga dalam stok minyak mentah dan bahan bakar AS minggu lalu.
Kenaikan ini didorong oleh lonjakan impor minyak mentah ke level tertinggi dalam enam pekan, serta turunnya permintaan bensin dan bahan bakar sulingan.
Menurut EIA, persediaan minyak mentah AS naik 1,3 juta barel menjadi 443,2 juta barel pada pekan yang berakhir 16 Mei. Padahal jajak pendapat Reuters memperkirakan penurunan sebesar 1,3 juta barel.
Emril Jamil dari LSEG Oil Research mengatakan Lonjakan stok ini memberi tekanan negatif terhadap harga, khususnya WTI
”Situasi ini bisa mendorong ekspor AS ke Eropa dan Asia,” jelasnya.
Di tengah kondisi tersebut, izin operasi Chevron di Venezuela disebut akan berakhir pada 27 Mei mendatang. Hal ini diungkap Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dalam unggahan di platform X pada Rabu malam.
“Pernyataan Rubio bisa menjadi faktor pengubah permainan. Namun, tenggat waktu ini sebelumnya pernah diperpanjang, sehingga pasar belum sepenuhnya yakin,” pungkas Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group.