Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Fitch Ratings Pantau Danantara hingga Depresiasi Rupiah, Ini Hasilnya

Fitch Rating memberikan respons mengenai pembentukan Danantara, ekspor komoditas hingga depresiasi rupiah yang terjadi saat ini.
Warga mencari informasi tentang Danantara menggunakan gawai di Jakarta, Senin (24/3/2025). Bisnis/Himawan L Nugraha
Warga mencari informasi tentang Danantara menggunakan gawai di Jakarta, Senin (24/3/2025). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Fitch Rating memberikan respons mengenai pembentukan sovereign wealth fund (SWF) Danantara, ekspor komoditas hingga depresiasi rupiah yang terjadi saat ini.

Head of Asia Pasific Business Management Fitch Ratings Kwong Li, mengatakan bahwa ketegangan perdagangan global karena ketidakpastian yang tidak dapat diprediksi dari Amerika Serikat (AS) menyebabkan pertumbuhan domestik melambat dan nilai tukar rupiah bergejolak.

Dia mengatakan bahwa beberapa kebijakan pemerintah yang baru sebagai bentuk inisiatif untuk mendorong pertumbuhan, juga menimbulkan kekhawatiran yang membatasi keuangan pemerintah.

"Pembentukan dana investasi negara [sovereign wealth fund]) bernilai miliaran dollar akan memberikan akses kepada pemerintah untuk mendapatkan dana yang sangat besar untuk mendorong pertumbuhan," katanya, Rabu (7/5/2025).

Director Asia Pasific Corporates Fitch Ratings Felita, mengatakan bahwa karena saat ini Danantara masih dalam tahap awal, pihaknya akan memantau perkembangan kebijakan dan strategi investasi Danantara ke depan, serta kebijakan keuangan dengan memperhatikan aspek-aspek tertentu.

"Misalnya, apakah Danantara akan meminta pembayaran dividen yang jauh lebih tinggi dari BUMN, atau apakah misalnya, BUMN akan diminta untuk mengejar proyek-proyek yang lebih berisiko, atau belanja modal yang lebih besar atau investasi di bidang-bidang yang menjadi prioritas Danantara," ujarnya.

Selain itu, juga terkait dengan peraturan baru dari pemerintah mengenai persyaratan untuk menahan devisa hasil ekspor (DHE) untuk ekspor komoditas selama 1 tahun dari aturan sebelumnya 3 bulan.

Menurutnya, perubahan aturan tersebut tidak akan memberikan dampak peringkat negatif terhadap emiten yang diperingkat.

"Dalam pandangan kami, perubahan ini tidak akan memberikan dampak peringkat negatif terhadap emiten yang diperingkat, karena menurut kami emiten tersebut masih memiliki fleksibilitas untuk menggunakan sebagian dana hasil ekspor di dalam negeri sesuai dengan peraturan yang baru," ucapnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa tarif royalti untuk komoditas terjadi beberapa perubahan, seperti untuk nikel, batu bara, serta komoditas logam lainnya.

"Kami rasa hal tersebut juga akan berdampak terbatas pada emiten-emiten. Sebagai contoh, MIND ID misalnya, dampaknya sebagian besar akan terjadi pada kenaikan tarif royalti nikel untuk anak perusahaannya, tetapi dampaknya akan minimal dalam EBITDA untuk konsolidasi tambang MIND ID," tuturnya.

Selain itu, menurutnya Freeport Indonesia memiliki tarif royalti tetap. Freeport beroperasi di bawah izin pertambangan khusus, hingga 2041, dan selama jangka waktu tersebut, tidak akan terpengaruh oleh peraturan baru.

Sementara itu mengenai depresiasi rupiah, dia melihat perusahaan Indonesia sekarang berada dalam kondisi yang lebih baik daripada tahun 1998.

Menurutnya, hal tersebut didasarkan oleh dua hal utama, pertama, perusahaan Indonesia saat ini eksposur terhadap ketidaksesuaian antara pendapatan dan utang yang dimiliki saat ini lebih rendah, dan yang kedua adalah basis depresiasi rupiah saat ini tidak secepat pada 1998.

Kemudian mengenai laju depresiasi rupiah, menurutnya rupiah terdepresiasi sekitar tahun 2000 ke 16.000 yang terdepresiasi 85% dalam satu tahun. 

Sementara dalam 6 bulan terakhir, dia mengatakan bahwa rupiah terdepresiasi dari 15.000 menjadi sekitar 16.800 sehingga tidak sampai 10% depresiasi dalam 6 bulan.

"Jadi kecepatannya juga berbeda. Namun jika terjadi depresiasi mata uang lebih lanjut, kami rasa emiten-emiten tertentu dan sektor-sektor tertentu akan mengalami tekanan," tambahnya.

Dia mengungkap bahwa perusahaan yang memiliki banyak ketergantungan impor, seperti perusahaan unggas atau makanan dan minuman, yang menggunakan bahan baku impor akan tertekan, namun perlu dilihat sejauh mana proporsi ekspor yang dimiliki perusahaan tersebut. Lalu, juga kekuatan harga untuk meneruskan sebagian dari peningkatan biaya kepada pembeli.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Erta Darwati
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper