Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang rupiah dibuka melemah ke posisi Rp15.938 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Kamis (12/12/2024).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah dibuka pada perdagangan dengan turun 0,12% atau 19 poin ke posisi Rp15.938 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar terlihat menguat 0,26% ke posisi 106,360.
Sejumlah mata uang kawasan Asia lainnya bergerak variatif terhadap dolar AS. Yen Jepang menguat 0,29%, dolar Singapura menguat sebesar 0,15%, ringgit Malaysia menguat 0,06%, dolar Taiwan menguat sebesar 0,14% dan rupee India menguat 0,01%.
Adapun mata uang yang melemah di antaranya, peso Filipina melemah 0,07%, dolar Hong Kong melemah 0,02%, baht Thailand melemah 0,14%, won Korea melemah 0,17%. Lalu, yuan China stagnan 0,00%.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memprediksi sebelumnya bahwa perdagangan hari ini (12/12) mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif tetapi berpotensi ditutup melemah di rentang Rp15.910-Rp15.970 per dolar AS.
Dia sebelumnya mengatakan bahwa kemarin (11/12/2024) mata uang rupiah ditutup melemah 48 poin ke level Rp15.919 dari sebelumnya melemah 50 poin ke level Rp15.870.
Ibrahim mengatakan nilai mata uang terkena sentimen dari ketegangan China-Taiwan dan Suriah yang memanas di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah, setelah pemberontak menggulingkan pemerintah Suriah.
Menurutnya, pasar menunggu untuk melihat yang akan terjadi di kawasan tersebut, mengingat hal itu berpotensi melonggarkan cengkeraman Iran di Timur Tengah.
Sementara itu di Asia, Taiwan menaikkan peringatan setelah China diduga terlibat dalam pergerakan maritim terbesarnya di sekitar pulau itu dalam beberapa dekade. China terlihat mengirim sekitar 90 kapal dalam latihan perang yang dilaporkan di sekitar Taiwan.
Selain itu, Ibrahim mengatakan bahwa ketidakstabilan politik di Korea Selatan juga tetap menjadi fokus, dengan Presiden Yoon Suk Yeol menghadapi tuntutan pidana atas upaya yang gagal untuk memberlakukan darurat militer pada pekan lalu.
Menurutnya, saat ini investor bersikap hati-hati dengan data indeks harga konsumen AS yang akan dirilis, yang kemungkinan akan menjadi faktor dalam rencana Federal Reserve untuk suku bunga.
Dia menjelaskan bahwa ketidakpastian atas prospek jangka panjang untuk suku bunga mendorong penguatan dolar, yang menekan mata uang Asia dalam beberapa pekan terakhir.
Selain itu, Politbiro China memberikan sinyal paling dovish sejauh ini tentang rencana untuk membuka lebih banyak stimulus dan mendukung pertumbuhan.
Menurutnya, fokus kini tertuju pada Konferensi Kerja Ekonomi Pusat (CEWC) China, sebuah pertemuan dua hari. CEWC berfungsi sebagai barometer atas China yang akan mengatasi tantangan internal seperti pertumbuhan yang melambat, konsumsi yang lemah, dan tekanan eksternal seperti ketegangan perdagangan.