Bisnis.com, JAKARTA - fenomenan cuaca, La Nina, dapat mengacaukan produksi pangan global dan mendongkrak harga lebih tinggi, karena potensi kekeringan dan banjir membawa pergolakan pada komoditas pertanian utama dari Asia Tenggara hingga Amerika Selatan.
Fenomena yang sangat diantisipasi telah secara resmi muncul. Pernyataan itu disampaikan Pusat Prediksi Iklim AS pada hari Kamis (11/9/2020).
Sebelumnya, La Nina terjadi pada tahun 2011.
Selama periode tersebut, pergolakan dalam produksi komoditas menyebabkan kenaikan tajam harga pangan dunia, dengan Indeks Harga Pangan Dunia Pangan & Pertanian PBB naik 37 persen pada Februari 2011, dari akhir 2009. Kenaikan tersebut merupakan rekor tertinggi.
La Nina biasanya mempengaruhi berbagai komoditas pertanian, karena membawa curah hujan di atas rata-rata di Australia, terutama di wilayah timur, tengah dan utara, serta di Asia Tenggara dengan potensi banjir.
La Nina juga dapat mengeringkan wilayah AS bagian selatan melalui musim dingin, membawa suhu yang lebih dingin dan badai di utara. Di Amerika Selatan, lahan pertanian di Argentina bisa menjadi lebih kering, dengan kemungkinan kekeringan serupa di beberapa bagian Brasil.
“Fenomena cuaca mengganggu produksi berbagai hasil pertanian, seperti kedelai, jagung, lobak, gula, kopi, dan karet,” kata Alvin Tai dari Bloomberg Intelligence.
Baca Juga
La Nina 2010 hingga 2011 mencatat rekor periode dua tahun terbasah di Australia, menurut Biro Meteorologi setempat. Kondisi ini membuat panen gandum musim dingin yang meningkat pada 2011 hingga 2012. Di musim ini, USDA FAS menuturkan panen bisa naik 78 persen secara tahunan, menjadi 27 juta ton.
“Mata air yang basah akan mendukung pengembangan padang rumput dan pengisian biji-bijian untuk tanaman musim dingin,” kata Rabobank dalam laporan agribisnis bulan September.
Namun, jika kondisi basah terus berlanjut hingga ke masa panen, hal itu dapat menurunkan kualitas panen.
La Nina juga dapat memperburuk serangan kekeringan di Argentina, membahayakan potensi rekor panen gandum di salah satu eksportir utama dunia.
Petani kedelai di AS mungkin akan terhindar dari kerusakan karena panen biasanya telah selesai pada November. "Kedelai Brasil mungkin lebih berisiko jika kekeringan dan suhu tinggi melemahkan kondisi penanaman yang membentang dari pertengahan Agustus hingga pertengahan Desember," kata Tai.
AS, Brasil, dan Argentina menyumbang sekitar 80 persen produksi kedelai global. Tai menilai panen yang lebih kecil dari negara-negara tersebut dapat menaikkan harga. Pada musim 2011-2012, produksi kedelai Brasil menurun 12 persen.
Hujan tambahan di Asia Tenggara dapat meningkatkan produksi minyak sawit. Sementara itu, Tai melihat industri juga dapat memperoleh keuntungan dari produksi minyak kedelai.
Direktur Konsultan perkebunan Ganling Sdn. Ling Ah Hong mengatakan curah hujan yang meningkat di Asia Tenggara, khususnya di Sabah dan Kalimantan, telah muncul sejak Juni lalu. "Dampak La Nina pada tanaman sawit akan bergantung pada seberapa kuatnya," kata Ling, dikutip dari Bloomberg.
“La Nina yang lemah hingga sedang biasanya bermanfaat bagi produksi kelapa sawit di tahun berikutnya,” katanya.
Namun, dia mengatakan curah hujan yang kelewat tinggi juga dapat menyebabkan gangguan jangka pendek langsung pada panen dan kualitas tanaman.
"Produksi minyak sawit biasanya menurun pada Desember dan Januari, setelah naik pada Agustus dan September," kata Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun.
Peristiwa La Nina dan El Nino dapat menyebabkan perbedaan tajam dalam harga kopi. Selama La Nina besar terakhir, harga arabika melonjak sebanyak 127 persen antara tahun 2010 dan 2012, sementara robusta naik sebanyak 105 persen.
Arabika sebagian besar ditanam di Brasil, wilayah yang dapat dilanda kekeringan selama La Nina. Sedangkan produksi kopi premium dapat susut selama tahun-tahun El Nino, karena tanaman robusta di Vietnam dan Indonesia dilanda kekeringan.